Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Read Full Post »

Pertumbuhan penduduk, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan sempitnya kesempatan kerja  merupakan akar permasalahan kemiskinan.Jumlah penduduk yang besar berdampak langsung terhadap pembangunan berupa tersedianya tenaga kerja yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Akan tetapi kuantitas penduduk tersebut juga memicu munculnya permasalahan yang berdampak terhadap pembangunan. Pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan kemampuan produksi menyebabkan tingginya beban pembangunan berkaitan dengan penyediaan pangan, sandang, dan papan. Sektor kehutanan merupakan salah satu bidang yang melaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan penyediaan pangan dan papan. Di dalam kebijakan kehutanan Indonesia yaitu berupaya meningkatkan pengelolaan hutan terpadu antara pelestarian hutan dan pembangunan hutan tanaman penghasil kayu serta pangan dengan sistem agroforestri.

Agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat mendukung pertumbuhan pohon dan kebutuhan petani setempat. Oleh karena itu, pengembangan agroforestri ini diharapkan akan membantu pelaksanaan pembangunan yang berkaitan langsung terutama pada penyediaan pangan dan papan. Di dalam sistem agroforestri mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar pohon dan komponen lainnya. Hodges (2000) dan Koopelman et al., (1996) mendefinisikan agroforestri sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau pakan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi.

Pada dasarnya, agroforestri mempunyai dua komponen penyusun utama, yaitu tanaman kehutanan dan tanaman pertanian yang saling berkompetisi untuk mendapatkan cahaya dan unsur hara. Jarak tanam yang terlalu dekat akan mengakibatkan kompetisi akan air dan hara. Apabila jarak tanamnya diperlebar maka besarnya tingkat kompetisi tersebut semakin berkurang. Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau mixed cropping (pohon dengan tanaman semusim, atau hanya pepohonan saja), maka setiap jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, jenis tanaman yang bercabang banyak akan menaungi tanaman yang lain. Beberapa tanaman yang jaraknya tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan, prosesnya sering disebut dengan facilitation (saling memfasilitasi). Contohnya, pohon dadap yang tinggi dan lebar sebaran kanopinya memberikan naungan yang menguntungkan bagi tanaman kopi. Contoh lain, jenis tanaman yang berperakaran lebih dalam daripada yang lain sehingga lebih memungkinkan untuk menyerap air dan hara dari lapisan yang lebih dalam. Dalam waktu singkat kondisi lingkungan di sekitar tanaman akan berubah (ketersediaan hara semakin berkurang), sehingga akhirnya akan menimbulkan kompetisi antar tanaman (Hairiah, 2002). Oleh karena itu, dinamika ruang sistem agroforestri sangat ditentukan oleh karakteristik komponen penyusun dan sistem budidaya pohon (aspek silvikultur) yang saling mempengaruhi.

Proses saling mempengaruhi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, antara komponen penyusun sistem campuran ini (termasuk sistem agroforestri) sering disebut dengan interaksi (Hairiah, 2002). Penentuan komponen tersebut harus dapat menjawab kebutuhan jangka panjang (hasil hutan kayu) dan jangka pendek (pangan dan pakan). Penentuan tanaman kehutanan sebaiknya jenis yang memiliki tajuk kerucut (conic) dengan arsitektur pohon yang seimbang sehingga terjadi pembagian penggunaan cahaya (light capture sharing), sedangkan untuk tanaman pertanian sebaiknya jenis yang toleran terhadap naungan. Tanaman kehutanan dan pertanian berfungsi sebagai jaringan pengaman unsur hara (safety nutrient network) yang berfungsi melakukan efisiensi serapan hara dalam lingkungan tanah (Hairiah et al., 2000), untuk itu dipilih kayu sentang.

Kayu sentang (Azadirachta excelsa Jack) merupakan jenis pohon multiguna yang cepat tumbuh dan memiliki tajuk kerucut dengan arsitektur pohon yang seimbang, sehingga sentang potensial dikembangkan di agroforestri. Sentang merupakan jenis asli Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Filipina, dan Papua New Guinea. Tegakan sentang dapat dijumpai juga di Jawa Barat, yaitu  di  Kebun Percobaan Dramaga, Carita, Pasirhantap, dan Pasirawi. Kayu sentang sangat berguna untuk konstruksi ringan, mebel, panel dan vinir. Tunas muda dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Biasanya ditanam di sepanjang jalan, batas peternakan atau batas kebun karet. Seperti neem, bijinya mengandung azadirachtin, digunakan sebagai insektisida (Dephut, 2002). Jenis tanaman pertanian yang akan ditanam dengan sentang adalah sorgum.

Sorgum (Sorghum bicolor L) merupakan salah satu jenis tanaman musiman yang potensial untuk dikembangkan dalam agroforestri, dikarenakan geometri akarnya berfungsi sebagai jaringan penyelamat hara, yaitu sebaran akarnya yang dalam, distribusi akar lebar, dan kerapatan akar pada lapisan bawah tinggi. Selain itu, perakaran sorgum berfungsi sebagai inang mikroba bermanfaat dengan Vesicular-arbuscular mycorrhizal (V-AM). Cendawan V-AM akan berkembang di dalam tanah dan diharapkan akan menginokulasi akar sentang dengan sistem kontak akar (root contact system). V-AM sangat penting peranannya bagi tanaman, terutama pada tanah marginal (Mansur, 2010). Hal ini disebabkan V-AM efektif dalam meningkatkan penyerapan unsur hara, memperbaiki stabilitas/struktur tanah (Setiadi, 2000), meningkatkan daya tahan tanaman terhadap beberapa penyakit akar (Imas et al. 1989), mampu meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan juga faktor pengganggu lain, seperti salinitas tinggi, logam berat, dan ketidakseimbangan hara (Setiadi et al. 1992), serta berperan dalam pembentukan komunitas tanaman (Koide dan Mosee, 2004). Sorgum (Sorgum bicolor L), termasuk dalam tanaman serealia yang memiliki potensi penting dalam ketahanan pangan. Sorgum menempati urutan ke-5 di dunia setelah gandum, padi, jagung, barley, sedangkan sorgum menempati urutan ke-3 di USA. Dengan demikian, sorgum dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif selain beras, jagung, singkong dan sagu (Hoeman, 2009). Sorgum merupakan jenis rumput dengan fungsi ganda yaitu biji sebagai tanaman pangan maupun pakan, sedangkan daun dan batang dapat digunakan sebagai pakan (Soedarsono et al., 2004).

Makalah ini bertujuan untuk menyampaikan pengembangan agroforestri sentang (A. excelsa) dengan sorgum galur BATAN yaitu galur ZH-30 dan Numbu, dilihat dari produktifitas dan prediksi kapan sorgum sudah tidak dapat ditanam pada sistem agroforestri. Galur ZH-30 adalah jenis sorgum grain yang dimanfaatkan bijinya untuk pangan (Sihono, 2009). Galur ZH-30 memiliki potensi hasil mencapai 10 ton/ha (Sihono & Wijaya, 2010). Rerata tinggi jenis sorgum ini adalah 120 cm (Supriyanto et al., 2011a). Numbu merupakan jenis sorgum yang memiliki batang manis sehingga dapat diperas untuk diambil niranya sebagai bahan sirup, gula dan bioethanol (Supriyanto, 2011b). Kombinasi kedua jenis tersebut diharapkan akan memberikan produksi agroforestri yang tinggi karena terjadi hubungan biologis yang saling menguntungkan ditinjau dari pengaturan jarak tanam dan diperoleh informasi prediksi kapan sorgum sudah tidak dapat ditanam pada sistem agroforestri dengan sentang pada jarak tanam (A1) yaitu 2,5 m x 2,5 m dan (A2) yaitu 2,5 m  x 5 m 

Read Full Post »

Sorgum (Sorghum bicolor L.) sebagai sumber bahan pangan global yang dikonsumsi masyarakat dunia, memiliki luas tanam menempati urutan keempat setelah gandum, padi dan jagung. Selain pangan, sorgum dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, energi (bioetanol) dan sebagai bahan baku industri (cat, lem, bir dan sirup). Di Indonesia secara umum, budidaya dan pengembangan tanaman sorgum masih sangat terbatas, hal ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang budidaya dan manfaat sorgum. Maka upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi dan menyebarluaskan kepada masyarakat tentang prospek sorgum. Upaya ini perlu banyak dukungan dan melibatkan dinas-dinas terkait seperti Dinas Pertanian, Perguruan Tinggi, Lembaga Litbang dan Perusahaan Swasta.
Sorgum merupakan tanaman biji-bijian (serealia) yang banyak dibudidayakan di daerah beriklim panas dan kering, berasal dari wilayah sekitar sungai Niger di Afrika. Domestikasi sorgum dari Etiophia ke Mesir dilaporkan telah terjadi sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Sekarang sekitar 80% areal pertanaman sorgum berada di wilayah Afrika dan Asia, namun produsen dunia masih didominasi oleh Amerika Serikat, India, Nigeria, Cina, Mexico, Sudan dan Argentina.

Read Full Post »

HUTAN vs KEBIJAKAN

Kisruh RKT

Apa kabar hutan Riau sepeninggal Kapolda Riau kontroversial Brigjen Sutjiptadi pada tahun 2007? Apakah bertambah baik atau justru semakin amburadul? Bagaimana manajemen kehutanan daerah itu setelah kisruh perang Sutjiptadi terhadap pembalakan liar yang justru berakhir antiklimaks dengan keluarnya surat perintah penghentian penyidikan oleh kepolisian sendiri?

Ternyata di akhir tahun 2009 ini, peredaran kayu alam Riau kembali merajalela. Departemen Kehutanan secara diam-diam telah mengeluarkan 30 rencana kerja tahunan (RKT) kepada perusahaan kayu di Riau untuk menebang sekitar 23 juta meter kubik kayu (kayu dari hutan tanaman maupun hutan alam).

Proses pengeluaran RKT itu paling banyak dilakukan menjelang pergantian Menteri Kehutanan MS Kaban kepada Zulkifli Hasan. Tidak tanggung-tanggung, dari 30 RKT itu, Dephut telah memberi izin membabat 12 juta meter kubik kayu dari hutan alam. Bila berkunjung ke Riau saat ini, setiap saat Anda pasti akan berpapasan dengan truk-truk raksasa pengangkut kayu alam. Kondisi ini persis seperti pada tahun 2003-2005, tatkala pembalakan liar tengah marak-maraknya.

Angka 23 juta meter kubik itu sungguh fantastis, karena kebutuhan kayu untuk memasok dua pabrik kertas raksasa PT Riau Andalan Pulp and Paper serta PT Indah Kiat Pulp and Paper hanya memerlukan bahan sekitar 16 juta meter kubik kayu. Bila pasokan itu dikurangi lagi sebanyak dua juta meter kubik untuk keperluan lain, berarti masih ada kelebihan sekitar lima juta meter kubik.

Kelebihan lima juta meter kubik itulah yang merisaukan Kepala Dinas Kehutanan Riau, Zulkifli Yusuf. Mengapa Dephut begitu gampang memberikan izin penebangan kayu alam, di saat mata dunia tengah mengarah ke Riau? Bukankah lembaga pemerhati lingkungan dunia Greenpeace begitu getol menyambangi Riau yang yang dikenal gemar merusak hutan gambutnya untuk dijadikan hutan industri?

Tentunya menjadi pertanyaan pula, mengapa Kepala Dinas Kehutanan Riau merisaukan kebijakan Menhut? Bukankah Dinas Kehutanan Riau terlibat dalam penerbitan RKT? Bukankah Kepala Dinas Kehutanan adalah pemegang mandat untuk menerbitkan RKT di daerahnya?

“Benar, Kepala Dinas Kehutanan memiliki wewenang menerbitkan RKT. Namun sejak terjadinya kasus besar pada tahun 2007, saya tidak pernah menerbitkan RKT untuk penebangan kayu pada hutan alam. Tindakan saya itu disebabkan masih ada persoalan hukum dalam perizinan hutan tanaman industri yang belum diselesaikan pemerintah pusat, khususnya Menteri Kehutanan,” kata Zulkifli.

Titik balik

Gonjang-ganjing industri kehutanan pada tahun 2007 di Riau memang menjadi titik balik dalam industri kehutanan nasional. Saking besarnya persoalan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai-sampai harus membentuk Tim Pemberantasan Pembalakan Liar yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.

Kasus hukum yang melibatkan 14 perusahaan kayu di bawah grup PT RAPP dan PT IKPP akhirnya berakhir antiklimaks, setelah Kapolda Sutjiptadi digantikan oleh Hadiatmoko. Hadiatmoko kemudian mengeluarkan SP3 untuk kasus-kasus itu.

Namun, ada dua perintah Tim Presiden yang masih mengambang. Pertama, Menhut diminta untuk melakukan kajian ulang terhadap Undang-undang No 41/1999 tentang Kehutanan, terutama tentang ketentuan izin hutan tanaman industri. Pasalnya, izin yang ada selama ini, merupakan pangkal kekisruhan yang terjadi. Sutjiptadi kala itu beranggapan, ketentuan dari pasal-pasal perizinan yang dibuat Menhut justru yang banyak dilanggar, baik oleh pemegang mandat atau juga oleh departemen kehutanan sendiri.

Perintah kedua Tim Presiden meminta Menhut menata kembali ruang perizinan untuk HTI. Sekarang ini, puluhan lokasi HTI di Riau berada pada kawasan yang tidak sesuai peruntukannya. Bahkan tidak sedikit HTI yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi, baik itu berupa suaka margasatwa sampai Taman Nasional.

Atas dasar pertimbangan itulah Zulkifli menolak menerbitkan RKT pada hutan alam di Riau. Namun, Dinas Kehutanan Riau tetap memproses permintaan RKT sepanjang prusahaan kayu melampirkan berkas-berkas yang lengkap. Bila berkas sudah dinyatakan lengkap, Dinas Kehutanan Riau lalu menyampaikan berkas itu kepada Menteri Kehutanan. Dibalik itu, Zulkifli kemudian menyampaikan surat keberatan untuk menerbitkan RKT sebelum ada pembenahan pada perizinan HTI. Surat Zulkili itu tertanggal 25 Februari 2009.

Ambil alih wewenang

Hanya berselang sembilan hari, pada 5 Maret 2009, MS Kaban langsung mengeluarkan surat keputusan baru No P.14/2009 yang mengambil alih wewenang Kepala Dinas Kehutanan, menerbitkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) pada perusahaan HTI. Atas keputusan itu, Menhut dapat mengizinkan perusahaan HTI untuk menebang hutan alam bila Kepala Dinas provinsi tidak bersedia menandatangani RKT dimaksud.

SK P.14 bukanlah Kepmenhut yang murni baru, melainkan perubahan kecil atas Kepmenhut No P.62/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan. Disebut perubahan kecil karena SK itu hanya menambah satu ayat pada pasal 16. Ayat tambahan itu menyatakan, bila Kepala Dinas Provinsi tidak menandatangani RKT, kewenangan menerbitkan RKT dapat diambil alih oleh Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan.

Penolakan Zulkifli tidak membuat gentar Menhut. Buktinya, setelah munculnya Kepmenhut P.14, Dephut sudah menandatangani 30 RKT untuk menebang 23 juta meter kubik kayu, yang 12 juta meter kubik diantaranya merupakan kayu hutan alam.

Mulai bulan Mei 2009, jeda tebang yang terjadi selama dua tahun akibat ketakutan pengusaha kayu berhadapan dengan Polda Riau, sudah berakhir. Pengusaha kayu tidak takut lagi, karena izin RKT sudah ada. Kayu alam, secara hukum, sah ditebang untuk dijadikan bahan baku kertas atau untuk keperluan lain.

Kriteria HTI juga sudah berubah drastis. Ketentuan Kepmenhut No 10.1/2000 yang menyatakan HTI hanya boleh diberikan pada lahan kosong, padang alang alang, semak belukar atau hutan dengan tegakan kayu yang berdiameter 10 cm tidak sampai lima meter kubik per hektar sudah tidak dipakai lagi.

Aturan barunya, PP No 6/2007 pada pasal 38 ayat (3), HTI boleh didirikan pada hutan produksi yang tidak produktif. Makna tidak produktif sangat luas dan tidak ada lagi unsur pembatasan seperti sebelumnya. Kalaupun nantinya ada persoalan lingkungan di balik pembabatan hutan kayu alam, agaknya itu hanya dipandang sebagai dampak sebuah rencana pembangunan ekonomi di bidang kehutanan.

Kewenangan absolut

Penolakan daerah (Riau) terhadap kebijakan pusat dalam bidang kehutanan sebenarnya bukan semata -mata karena persoalan hukum pembalakan liar yang masih diperdebatkan. Disengaja atau tidak, Zulkifli jelas mengkritik kewenangan pusat terhadap pengelolaan hutan di daerah yang terlalu besar. Pusat, nyaris dapat menentukan seluruh kebijakan dan wewenang dalam pengelolaan hutan yang terdapat di daerah.

Dari 59 wewenang yang ada dalam pengelolaan kehutanan, daerah hanya memiliki satu kewenangan final yakni memberikan izin industri dengan kapasitas lebih kecil dari 6.000 meter kubik kayu per tahun. Lebih dari kapasitas itu, izin sudah berpindah ke tangan Menhut.
Sebanyak 58 wewenang lainnya, daerah dapat dikatakan sebagai komponen pelengkap penderita.

Daerah misalnya, dibagikan porsi memberi rekomendasi atas izin yang akan dikeluarkan Menhut. Terakhir, satu-satunya wewenang daerah yakni izin Dinas Kehutanan untuk memberikan RKT, dapat diambil alih Menhut lagi. Kewenangan Menhut begitu absolut, sementara daerah diwajibkan untuk mengawasi kerusakan hutan.

Kewenangan Menhut dalam mengatur hutan Indonesia jelas tidak sesuai dengan semangat era otonomi daerah yang sudah berjalan sewindu ini . Otonomi dibidang kehutanan, ternyata sudah hilang dan berganti dengan pola orde baru yang sentralistis.

Definisi

Kritik tajam terhadap pemanfaatan hutan alam yang diatur oleh Menhut juga disampaikan oleh pakar lingkungan dan pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Gajahmada Sofyan P Warsito. Dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Islam Riau bersama Pekanbaru Pos yang bertajuk Problematika Hukum dan Pelaksanaan Kebijakan Usaha Kehutanan di Indonesia, Sofyan mengungkapkan, filosofi, kebijakan dan pelaksanaan pembangunan kehutanan di Indonesia banyak yang saling bertentangan dan tidak sejalan.

Dalam Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, misalnya, hutan produksi didefinisikan memiliki fungsi utama memproduksi hasil hutan terutama kayu. Definisi itu adalah sebuah kesalahan besar alam pengelolaan kehutanan di Tanah Air. Dengan begitu, fungsi hutan sebagai komponen keseimbangan lingkungan atau komponen ekosistem menempati posisi sekunder.

Padahal, fungsi hutan yang utama, baik hutan produksi, hutan konservasi atau hutan lindung adalah sebagai komponen ekosistem. Pengabaian terhadap fungsi hutan sebagai komponen ekosistem atau penyangga kehidupan adalah yang menjadi penyebab kerusakan fungsi hutan selama ini.

Apabila komponen ekosistem diintegrasikan dalam UU Kehutanan, definisi hutan produksi semestinya adalah hutan dan kawasan hutan yang selain berfungsi sebagai komponen ekosistem juga apabila dikelola dengan baik mampu menghasilkan hutan kayu dengan lestari. “Dengan demikian, hutan produksi secara filosofis mendapat dua mandat sekaligus yakni berperan melindungi keseimbangan dan mampu menghasilkan produksi kayu secara lestari,” kata Sofjan.

Ia mengusulkan, dengan fungsi utama komponen ekosistem, di setiap pulau di negara ini harus ditetapkan kawasan hutan tetap berdasarkan perlindungan kawasan tangkapan air. Kawasan hutan tetap atau hutan negara ini tidak boleh berubah meskipun terjadi perubahan rencana tata ruang wilayah.

Di lapangan, perbedaan pandangan antara Departemen Kehutanan dengan Dinas Kehutanan Riau kembali membuat benang kusut pengelolaan hutan Riau. Muncul pertanyaan, mungkinkah aparat kehutanan di daerah bersedia mengawasi hutan Riau dengan sungguh-sungguh apabila seluruh kewenangan sudah di ambil alih oleh Menhut dari Jakarta. Pusat memiliki wewenang mengatur pengelolaan hutan dimana saja, sementara daerah disuruh mengawasi dengan menggunakan dana yang harus diambil dari APBD setempat.

Tidak heran bila kondisi hutan Riau saat ini mulai bergerak kembali ke titik semula sebelum aksi heroik Sutjiptadi. Kepolisian Daerah Riau yang dipimpin oleh Brigjen Adjie Rustam Ramdja pun seakan kesulitan menempatkan posisi baru polisi ditengah kondisi baru pembalakan liar. Belum ada pengawasan terpadu dan terencana instansi kepolisian untuk mengawasi kerusakan hutan. Bahkan antara polisi dan Dinas Kehutanan bekerja tumpang tindih dan seakan berebut mangsa dalam melihat kayu tangkapan di lapangan.

Itulah potret kondisi kehutanan Riau (Indonesia) saat ini.

Diposting dari : Forest_GAM
Carut Marut di Belantara Riau? (1)
Aktivitas penebangan kayu di kawasan hutan Riau.

Rabu, 2 Desember 2009 | 16:04 WIB
Laporan wartawan Kompas Syahnan Rangkuti

Read Full Post »

Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan ada sekitar 50.000 km2, dan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Di samping itu, seperti pada umumnya ekosistem terumbu karang di kawasan-kawasan lainnya, mempunyai produktifitas primer yang tinggi, sehingga produksi sekunder atau produksi perikanannya juga tinggi. Namun dibalik potensi tersebut, aktifitas manusia dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya alam di daerah pantai, baik secara lansung maupun tidak langsung sering merusakkan ekosistem terumbu karang. Sebagai akibatnya, seperti dilaporkan oleh P3O-LIPI, kondisi ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah semakin mengkawatirkan. Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimana pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Indonesia, dan bagaimana pemerintah mensikapi tentang hal ini.

Read Full Post »

Selama ini pemanfaatan rumput laut di Indonesia masih terbatas terutama pada produk makanan. Belum ada upaya lebih lanjut untuk meningkatkan output budi daya rumput laut. Padahal jika ini dikelola dengan benar, ternyata banyak produk yang bisa dihasilkan dari salah satu hasil laut yang konon dapat dikembangkan di seluruh pesisir Indonesia ini. Salah satu hasil pengolahan rumput laut adalah kertas. Jika dikelola dengan skala besar, mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Hal tersebut dikatakan Director Pegasus Interbational Churl H You didampingi Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Prof. Dr. Martani Husaini di Denpasar, Selasa (30/10), usai pembukaan Seaweed International Business Forum and Exhibition di Hotel Inna Grand Bali Beach Sanur. Dikatakan Chur, proses pemanfaatan rumput laut menjadi kertas itu sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Apalagi ditambah siklus hidupnya yang terbilang cepat, yakni 45 hari. Sangat jauh berbeda jika yang diolah menjadi kertas itu kayu. ”Proses pengolahan kayu menjadi kertas menggunakan banyak macam bahan kimia berbahaya.

Berbeda halnya dengan rumput laut yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia itu tadi,” ujar Churl sembari menambahkan, proses pengolahan itu di antaranya boilling process dan bleaching dengan menggunakan kaporit. Dia berpendapat, jika kelak industri ini dapat dikembangkan secara massal, tidaklah mustahil pembabatan hutan dapat dikurangi. Terlebih lagi dengan maraknya kasus illegal logging saat ini. ”Ini sisi lain keuntungan yang dapat diraih dari pemanfaatan rumput laut. Hutan perlu waktu lama untuk pulih. Alternatif ini tentu memberikan solusi bagi pelestarian lingkungan hidup,” tambahnya. Potensial Prof. Martani menyebutkan saat ini pemerintah sedang mengupayakan untuk melakukan kerja sama dengan pihak asing terkait pemberdayaan hasil budi daya rumput laut. Salah satunya seperti yang dilakukan dengan Churl. ”Industri semacam ini sangat potensial dikembangkan. Jika ini dapat dikembangkan lagi sebagai mass industry, diharapkan dapat menggerakkan ekonomi masyarakat pesisir yang tergolong miskin,” katanya, sambil menyebutkan di Bali akan dibicarakan mengenai kerja sama mengenai hal tersebut. Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan saat membuka forum tersebut mengatakan pengembangan rumput laut di Indonesia sangatlah memungkinkan untuk dilakukan. Sebab tidak terlalu rumit dan membutuhkan banyak dana. ”Tinggal bagaimana sekarang pihak pemda dan swasta memberdayakan cluster area yang sudah ada. Ditambah lagi peningkatan end product rumput laut yang selama ini baru dimanfaatkan untuk dijadikan makanan. Belum mengarah ke hal lain yang lebih menguntungkan, ” ujarnya.

Read Full Post »

 

Air esensial bagi kehidupan, baik itu kehidupan manusia, flora dan fauna baik yang terlihat (makroorganisme) maupun yang tidak terlihat (mikroorganisme) sangat tergantung pada air. Sehingga, secara alamiah dapat dipahami bahwa tanpa air tidak ada kehidupan, karena berbagai fungsi air bagi kehidupan tidak tergantikan oleh benda lain.

Air merupakan faktor penting untuk memfungsikan secara tepat sebagian besar proses-proses tumbu-tumbuhan dan tanah. Air mempengaruhi baik itu secara langsung maupun tidak langsung pada hampir semua proses dalam tumbuhan, aktivitas metabolisme sel dan tumbu-tumbuhan berkaitan dengan kadar air (Kramer, 1969 dalam Pritchett, 1979). Untuk melangsungkan proses metabolic yang diperlukan tanaman, air memerankan berbagai fungsi di dalam tanah. Sebagai pelarut dan sebagai media transfer unsur hara, sumber hydrogen, pengaturan suhu tanah dan aerasi serta sebagai pengencer bahan beracun di dalam tanah (Pritchett, 1979).

Selanjutnya Pritchett (1979) menjelaskan bahwa tanah yang kaya akan mineral secara lengkap tanpa adanya air tidak akan produktif, sebaliknya tanah pasir yang miskin pun dapat mendukung produktivitas hutan secara layak jka disertai kadar air yang cukup. Oleh karena itu, pengetahuan tentang neraca air menjadi sangat penting dalam membangun hutan. Pengetahuan yang sangat terkait dengan kondisi neraca air adalah pengetahuan tentang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan siklus hidrologi.

Tulisna ini akan mengulas peranan hutan dalam pengaturan tata air. Pendekatan yang dilakukan adaah dengan melihat neraca air dan berbagai aspek terkaitnya di hutan alam dan hutan tanaman yang didahului dengan sedikit uraian tentang DAS dan siklus hidrologi.

DAERAH ALIRAN SUNGAI

Daerah aliran sungai (DAS), seperti dikemukakan Manan (1978), Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1981), dan Direktorat dan Rehabilitasi (1978) dalam Sumitro (1981), merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jath diatasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit. Di bawah tanah juga terdapat pemisah bawah tanah yang berupa batuan. Berbagai istilah lain yang digunakan untuk DAS antara lain adalah watershed, drainage basin dan catchment.

Unsur-unsur utama di dalam suatu DAS adalah sumberdaya alam tanah, vegetasi (antara lain hutan) dan air serta manuasi penghuninya (Sumitro, 1981). Oleh karena itu, DAS selain merupakan wilayah tata air, DAS juga merupakan suatu ekosistem karena itu dalam suatu DAS terdapat berbagai unsur penyusun utama yang di satu pihak bertindak sebagai objek atau sasaran fisik alamiah, seperti sumberdaya alam tanah, vegetasi dan air. Sedangkan di lain pihak berperan sebagai objek atau pelaku pendayagunaan unsur-unsur tersebut, yaitu manusia. Antara unsur-unsur tersebut terjadi proses hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.

SIKLUS HIDROLOGI

Hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang air dalam segala bentuknya, baik di atas, di dalam, maupun pada permukaan tanah. Masalah yang dibahas meliputi distribusi, sirkulasi, sifat-sifat kimiawi dan sifat fisik serta reaksi dari alam lingkungan yang mati maupun yang hidup terhadap air (Manan, 1979). Sedangkan hidrologi hutan adalah cabang ilmu hidrologi yang mempelajari pengaruh hutan dan vegetasi semacamnya terhadap siklus air, termasuk di dalamnya adalah efeknya terhadap erosi, kualitas air, dan iklim mikro. Siklus hidrologi di bagian hulu sungai, terjadi baik di atas permukaan maupun di bawah permukaan tanah, di samping itu pergerakan air terjadi pada kondisi jenuh dan kondisi tak jenuh sehingga dengan demikian pergerakan air lebih banyak di pengaruhi oleh panjang dan kelas lereng.

Selama berlangsungnya siklus hidrologi, yaitu sepanjang air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang terus menerus bersikulasi, penguapan, presipitasi, dan pengaliran ke luar. Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, perubahan menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh menjadi hujan atau salju ke permukaan laut, sungai atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi, tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan di mana sebagian akan menguap (intersepsi) dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan menuju ke permukaan tanah (troughfall dan steamflow).

Sebagian air hujan yang tiba kepermukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekukan-lekukan permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah rendah, masuk ke sungai, dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba di laut. Dalam perjalanannya ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah sebelum menjadi air bawah tanah keluar kembali segera ke sungai sebagai aliran bawah permukaan (interflow), tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air bawah tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke sungai sebagai aliran air bawah tanah (groundwater flow). Secara skematis siklus hidrologi dalam gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Siklus Hidrologi (sumber Asdak, 1995)

 

NERACA AIR SUATU DAS

Volume dan gerakan air sudah menjadi sifatnya adalah lebih mudah untuk mengukur dan mengevaluasinya apabila dikaitkan dengan fase cair. Mulai dari lembah atau sub-DAS yang kecil dipegunungan hingga menjadi sebuah DAS raksasa seperti Batang Hari di Sumatera, Kapuas di Kalimantan, terjadi proses berdasarkan input dan output air, yang sekaligus juga input dan output tanah/ sediment yang di kandung air hujan maupun aliran sungai. Curah hujan yang jatuh dalam sebuah DAS, setelah diuapkan, sisanya akan mengalir ke sungai, biasa disebut hasil air (water yield). Neraca air sebuah DAS yang berhutan dapat digambarkan dengan persamaan matematika sebagai berikut (Hawlett dan Nutter, 1969 dalam Manan, 1978):

Pg = (T + Ic + If + Es + w) + Q + ΔS ± L+ U

 

 

Di mana :

Pg            = curah hujan kasar                                                            T             = transpirasi

Ic            = intersepsi tajuk                                                                 If             = intersepsi lantai hutan

Et            = evapotranspirasi total                                                     Q             = aliran sungai

ΔS           = perubahan kadar air tanah                                            U             = aliran sungai bawah tanah

Es + w    = evaporasi dari permukaan tanah dan air                    Rs           = aliran permukaan

± L          = kebocoran ke dalam dan keluar DAS                          Ri            = aliran bawah permukaan

Rg           = aliran air bumi (aliran dasar)

Apabila dianggap tidak ada kebocoran (L) dan aliran sungai bawah tanah (U), maka persamaan neraca air sebuah DAS dapat disederhanakan sebagai berikut (Manan, 1978 dan Ward 1975 dalam Bruijnzeel, 1982) :

Pg = Et + Q + ΔS

 

 

Aliran atau debit sungai, berdasarkan hasil berbagai penelitian (Hibber, 1967 dalam Manan, 1978, Pudjiharta dan Fauzi, 1981, Bruijnzeel, 1982, dan Mulyana, 2000), sangat dipengaruhi oleh berbagai tindakan manajemen hutan, seperti penebangan, penjarangan, pembesihan lantai hutan, dan reboisasi, karena akan langsung memanifulasi faktor evapotranspirasi total (Et).

NERACA AIR DI KAWSAN HUTAN DAN NON-HUTAN

Pada bagian ini akan diuraikan neraca air di hutan alam dan hutan tanaman serta pada lahan non hutan (pertanian) dengan menggunakan data sekunder hasil penelitian Bruijnzeel (1982) di Jawa Tengah, dan Mulyana (2000) di Jawa barat, serta beberapa pustaka lain yang terkait.

  1. A. Gambaran Lokasi Penelitian

A.1. Penelitian Bruijnzeel

Penelitian Bruijnzeel (1982) dilakukan di daerah hulu DAS Kali Mondoh, sejak November 1976 sampai Februari 1978. Daerah hulu sungai DAS Kali Mondoh terletak di Gunung Serayu Selatan, sebelah selatan kota Banjarnegara dan berdekatan dengan Watu Belah dengan ketinggian 508-714 mdpl. Petak contoh untuk melihat aspek hidrologi dilakukan pada kawasan tegakan hutan tanaman miring Agathis lorantiforia umur 40 tahun dengan tumbuhan bawah yang didominasi oleh Eufatorium sp dengan luasan sekitar 18,74 hektar.

A.2. Penelitian Mulyana

Mulyana (2000) melakukan penelitian sejak Juli 1997 sampai Juli 1998 di bagian hulu DAS Ciwulan dengan ketinggian 1.150-1.883 mdpl yang merupakan kawasan RPH Tenjowaringin, BKPH Singaparna, KPH Tasikmalaya, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Pada lokasi penelitian, secara garis besar terdapat dua bentuk penutupan lahan, yaitu pertanian (sub-DAS Cikuwung) dan hutan (sub-DAS Cibangban) yang secara rinci disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyebaran penutupan lahan di hulu DAS Ciwulan, Jawa Barat (Sumber : Mulyana, 2000)

Jenis Penutupan Lahan Luas
Ha (%)
Sub DAS Cikuwung (Pertanian)
Tumpang sari tahun tanam 93/94 57,4 91,5
Tumpang sari tahun tanam 95/96 2,7 4,2
Tumpang sari tahun tanam 1963 2,6 4,2
Jumlah 63,7 100
Sub DAS Cibangban (Hutan)
Hutan alam 36,8 31,1
Hutan pinus tahun tanam 1963 17,6 14,8
Hutan pinus tahun tanam 1986 38 30,6
Hutan pinus tahun tanam 95/96 13,4 11,3
Hutan pinus tahun tanam 1997 14,5 12,2
Jumlah 118,3 100
  1. B. Neraca Air

Besarnya curah hujan, evapotrasnpirasi, debit dan kadar air tanah akan sangat mempengaruhi neraca air suatu DAS.

B.1. Penelitian Bruijnzeel

Hasil pengukuran dan perhitungan neraca air di DAS Kali Mondoh sejak 1 Desember 1976 sampai 1 Februari 1978 yang terdiri atas curah hujan (P), debit sungai (Q), perubahan kandungan air tanah/change in moil storage (ΔS), perubahan kandungan air bawah tanah/change in groundwater moisture storage (ΔG), evapotranspirasi aktual perhituangan (EaP), evaporasi daerah terbuka/open-water evaporation (Eo) secara lengkap disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Neraca Air di DAS kali Mondoh

Bulan P

 

(mm)

Q

 

(mm)

ΔS+ΔG

 

(mm)

EaP

 

(mm)

Eo

 

(mm)

Ea (0,8 Eo)

 

(mm)

Desember 1976 539,2 454,5 + 72 77,5 120,0 96,0
Januari 1977 460,3 364,6 -72 102,9 123,4 98,7
Februari 444,1 415,7 + 91,3 46,3 100,3 80,2
Maret 463,2 354,0 + 91,3 46,3 117,2 93,4
April 705,2 698,5 -75,5 82,2 117,3 93,8
Mei 146,3 183,5 -138,5 101,3 108,8 87,0
Juni 455,9 323,1 +123,4 9,4 99,6 79,7
Juli 12,9 109,4 -176,3 79,8 103,2 82,6
Agustus 2,5 27,3 -169,8 145,0 110,7 88,6
September 8,8 9,7 -103,3 102,4 116,4 93,1
Oktober 38,7 4,3 -70,9 105,3 135,2 105,3
November 303,6 10,4 +217,8 75,4 108,6 75,4
Desember 535,9 91,8 +173,5 271,8 103,5 82,8
Januari 1978 551,3 413,3 -12,3 150,3 107,9 86,3
Total 4667,9 3460,1 -9,2 1217 1572,1 1242,9

Sumber : Bruijnzeel (1982)

Berdasarkan data pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa pada bulan Mei, Juli, Agustus, dan September 1977 debit sungai lebih besar dari curah hujan, sehingga debit air sebagian besar aliran air bawah tanah yang disimpan sebelumnya oleh hutan yang ada di atasnya. Fakta ini menunjukkan bahwa hutan berperan sebagai pengatur tata air, di mana sebagian besar curah hujan yang jatuh di atasnya akan disimpan sebagai air tanah dan akan dikeluarkan saat musim kemarau di samping dimanfaatkan sendiri oleh tumbuhan hutan dalam metabolismenya.

Demikian juga dengan hanya evapotranspirasi aktual pada bulan Juli sampai bulan September 1977 lebih besar dari curah hujan yang terjadi, sehingga evapotrasnpirasi tersebut sebagian besar berasal dari air tanah yang disimpannya. Fakta ini semakin menguatkan bahwa hutan berperan sebagai pengatur tata air. Namun demikian, berapa besar air yang bisa disimpan dan berapa laju aliran permukaan (run off) yang bisa dikurangi oleh hutan di atasnya belum bisa ditunjukkan oleh data di atas.

B.2. Penelitian Mulyana

Besarnya evapotranspirasi potensial (Eto) di lokasi penelitian oleh Mulyana (2000) diduga dengan menggunakan metode Trontwhaite (1957), sehingga diketahui evapotranspirasi potensial di lokasi penelitian adalah 1.400 mm/th, seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Evapotranspirasi potensial di hulu DAS Ciwulan

Bulan Curah Hujan

 

(mm)

Eto

 

(mm)

Januari 321,6 115,4
Februari 342,6 72,4
Maret 604,7 121,1
April 439,6 135,8
Mei 270,7 130,8
Juni 212,1 104,8
Juli 206,8 121,0
Agustus 233,4 121,5
September 94,6 126,6
Oktober 299,6 116,9
November 498,1 110,9
Desember 171,3 122,6
Tahunan 3.695,1 1.400
Rata-rata (mm/bulan) 263,9 100,0

Sumber : Mulyana, 2000

Berdasarkan perbandingan antara evapotranspirasi potensial dengan curah hujan, ternyata di bulan September terjadi defisit air, seperti evapotranspirasi aktual lebih kecil dibandingkan dengan evapotranspirasi potensial. Berdasarkan hasil perhitungan Mulyana (2000), pada sub-DAS Cikuwung (pertanian) diketahui bahwa pada bulan ke-13 sampai bulan ke-22 terjadi pengurangan cadangan air tanah sebesar 1.864 mm. Selama 34 bulan pengamatan atau akibat tebangan menyebabkan terjadinya pengurangan cadangan air tanah rata-rata 53,2 mm/bulan atau setara dengan 638,4 mm/th di sub-DAS tersebut berkurang akibat menurunnya pasokan air ke dalam tanah. Data neraca air rata-rata selama 34 bulan pengamatan Mulyana (2000) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Neraca air rata-rata bulanan di hulu DAS Ciwulan (dalam mm/bulan)

Komponen Sub DAS

 

Cikuwung

(non hutan)

Sub DAS

 

Sibangban

(hutan)

Selisih
Curah hujan 269,1 269,1 0
Kelembaban tanah awal 434,4 434,4 0
Kelembaban tanah total 722,6 703,5 19,1
ET potensial 112,9 112,9 0
ET aktual 78,2 109,0 (30,8)
Kelembaban tersisa 644,4 594,5 49,9
Kelembaban akhir 446,7 448,9 (2,2)
Perubahan cadangan air tanah (53,2) (18,3) (34,9)
Debit sungai 197,7 145,7 52

Pengurangan pasokan air ke dalam tanah diimbangi dengan terjadinya kenaikan aliran permukaan di sub-DAS non hutan sebesar 52 mm/bulan atau setara dengan 624 mm/th, kenaikan ini akibat naiknya koefisien aliran (runoff coefficient) pada saat terjadi hujan sehingga potensial menimbulkan penurunan kualitas air dan erosi, sehingga dengan demikian tebangan hutan mengakibatkan terjadinya kenaikan aliran permukaan sebesar 624 mm/th, akan tetapi di sisi lain akibat tebangan hutan menyebabkan terjadinya penurunan pasokan air tanah sebesar 638,4 mm/th atau setar dengan 53,22 mm/bulan, padahal evapotranspirasi actual yang terjadi pada sub-DAS non hutan (78,2 mm/bulan) lebih kecil dibandingkan dengan sub-DAS hutan (109,0 mm/bulan). Fakta di atas membuktikan bahwa walaupun evapotranspirasi DAS non hutan kecil tetapi kumulatif air yang dapat disimpan oleh DAS berhutan jauh lebih banyak dibandingkan dengan DAS tidak berhutan, sehingga data ini membuktikan hutan sangat berperan dalam mengatur tata air.

Berdasarkan hasil perhitungan neraca air oleh Mulyana (2000) diketahui bahwa kebutuhan air untuk evapotranspirasi hutan Pinus merkusii di hulu DAS Ciwulan adalah setara dengan 109 mm/bulan atau setara dengan 1.308 mm/th atau 3,5 mm/hari. Sementara kebutuhan air untuk evapotranspirasi sub-DAS non hutan (pertanian) adalah sebesar 660 mm/th atau 1,8 mm/hari, sehingga akibat penanaman Pinus merkusii terjadi kenaikan konsumsi air sebesar 650 mm/th yang digunakan untuk evapotranspirasi. Sehingga dengan demikian, tegakan hutan Pinus merkusii mengkonsumsi air lebih banyak, akan tetapi tingkat konsumsi ini diimbangi dengan kemampuan menyerap air yang besar sehingga simpanan total air meningkat, dengan perbedaan  DAS non hutan dan DAS berhutan sebesar 34,99 mm/bulan.

Analisis perubahan penutupan lahan terhadap laju infiltrasi menunjukkan bahwa semakin tua umur tegakan hutan, semakin besar kemampuan hutan untuk meresapkan air ke dalam tanah, bahkan total air yang mampu dimasukkan ke dalam tanah pada tegakan Pinus merkusii berumur 34 tahun lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tegakan umur 10 tahun. Hal ini membuktikan bahwa tegakan hutan sangat baik dalam meresapkan air ke dalam tanah. Kemampuan tanah menginfiltrasi curah hujan pada tegkan tua disebabkan karena pada tegakan Pinus merkusii tua banyak dijumpai tumbuhan bawah, seresah, dan kandungan bahan organik yang menutupi lantai hutan, sehingga dapat memperbaiki struktur tanah yang memungkinkan air hujan masuk ke dalam tanah (Mulyana, 2000). Hal ini serupa dengan hasil yang dijumpai oleh Pudjiharta dan Fauzi (1981) di mana aliran permukaan pada tegakan Pinus merkusii, Althingia excelsa, Maespsis eminii beserta tumbuhan bawah dan seresahnya hanya sekitar 0 – 0,04 m3.ha-1. bln-1 dan erosi tidak terjadi. Ketika tumbuhan bawah dan seresah dari tegakan yang sama dihilangkan, maka aliran permukaan meningkatkan mencapai 6,7 m3. ha-1. bln-1.

  1. C. Bagaimana Neraca Air di Hutan Alam ?

Hutan alam memiliki tajuk berlapis, serasah dan humus yang tebal, perakaran yang bervariasi dari dangkal sampai dalam. Hal tersebut yang antara lain yang membedakan hutan alam dengan hutan tanaman, di mana hutan tanaman umumnya ditanam secara monokultur dan seumur, maka tajuknya tidak berlapis (hanya satu lapis atau tidak ada stratum tajuk), kedalaman dan bentuk perakaran yang seragam, serta ketebalan seresah dan humus yang lebih tipis. Apabila praktek pembukaan lahan (land clearing) dalam pembangunan hutan tanaman di daerah tropis yang biasanya menggunakan metode tebang dan bakar (slash-and-burn), sehingga pada beberapa waktu di awal pembangunannya tidak memiliki seresah dan tumbuhan penutup lahan (cover crop).

Pembukaan lahan dengan slash-and-burn menyebabkan rusaknya sifat fisik dan kimia tanah yang diindikasikan oleh kerapatan limbak (bulk density) tanah tinggi (1,30 Mg m-3). Apabila jika dilakukan dengan mekanis stabilitas agregat tanah rendah (100), kapasitas tukar kation (KTK) rendah (11,5 cmol.kg-1) (Rachman et al., 1997). Kondisi ini menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan erosi pada satu sisi, dan menurunkan infiltrasi air hujan ke dalam tanah pada sisi yang lain.

Berdasarkan karakter demikian, penulis berhipotesis bahwa hutan alam yang belum terganggu akan memiliki neraca air yang lebih baik dibandingkan dengna hutan tanaman, apalagi dari kawasan tidak berhutan. Hal ini sangat memungkinkan karena infiltrasi curah hujan ke dalam tanah akan meningkat karena struktur tanah yang semakin baik, karena perakarannya yang bervariasi mulai dangkal sampai dalam, tajuk berlapis yang akan sangat mengurangi daya hancur butiran hujan sehingga laju erosi akan dapat diminimalisir. Demikian juga halnya dengan keberadaan tumbuhan bawah dan serasah air. Oleh karena itu, kandungan air tanah pada hutan alam akan besar dan akan dikeluarkan secara perlahan-lahan pada musim kemarau.

Fakta yang sering kita jumpai adalah pada hutan alam yang masih bagus, fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kering sangat kecil, demikian juga dengan kualitas air yang dihasilkan adalah baik. Seperti yang penulis alami dan amati pada DAS Batanghari, misalnya, di mana sebelum hutan alam di hulu DAS tersebut dieksploitasi untuk diambil kyaunya, maka debit sungai antara musim hujan dan musim kering tidak berbeda nyata, demikian juga dengan kualitas air di dua musim tersebut hampir sama. Namun semenjak hutan di DAS tersebut dieksploitasi awal tahun 1980, maka ketika musim hujan akan diikuti oleh banjir besar dan pada musim kemarau debit sungai jauh berkurang. Demikian juga dengan kualitas air, di mana pada musim hujan, air sungai yang mengalir berwarna coklat kehitaman karena mengandung banyak partikel pasir, tanah, dan partikel lainnya.

Untuk mengetahui besaran secara kuantitatif perlu dilakukan pengujian, sehingga akan didapatkan data yang akurat dan diketahuinya secara baik berapa kemampuan hutan alam dalam mengatur tata air, termasuk neraca air.

PENUTUP

Penebangan hutan di DAS Ciwulan berdampak pada pengurangan air tanah rata-rata 53,2 mm.bln-1 dan kenaikan aliran permukaan sebesar 624 mm.th-1. Kemampuan meresapkan air pada DAS berhutan (tegakan Pinus merkusii) lebih besar dari DAS non-hutan (pertanian), yakni sebesar 34,9 mm.bln-1. Penghilangan tumbuhan bawah dan seresah di bawah tegakan P. merkusii, A. excelsa, dan M. eminii meningkatkan aliran permukaan mencapai 6,7 m3.ha-1.bln-1.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hutan berperan penting dalam pengaturan tata air. Neraca air suatu kawasan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai tindakan manajemen hutan, seperti penebangan, penjarangan, pembersihan lantai hutan, dan penanaman. Oleh karena itu, keberadaan hutan dalam luasan yang cukup dan kondisi yang baik di suatu kawasan penting untuk dipertahankan, sehingga bencana kekeringan dan banjir dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Bruijnzeel, L.A. 1982. Hydrologizal and Biogeochemical Aspests of Man-made Forests in South-Central Java, Indonesia. Nuffic Project ITC/GUA/VU.

Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1981. Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan dalam Hubungannya dengan Pengelolaan DAS secara Terpadu. Proceedings Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, 26-27 Mei 1981. p 135-151.

Maman, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maman, S. 1978. Kaidah dan Pengertian Dasar Manajemen Daerah Aliran Sungai. Dalam Maman, S. 1998. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. Penerbit IPB Press, Bogor.

Mulyana, N. 2000. Pengaruh Hutan Pinus (P. merkusii) terhadap Karakteristik Hidrologi di Sub Daerah Aliran Sungai Ciwulan Hulu KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Kajian menggunakan Model POWERSIM-PINUS Ver. 3. 1.). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pritchett, W.L. 1979. Properties and Management of Forest Soils.

Pudjiharta, Ag. dan A. Fauzi. 1981. Beberapa indicator Fisik untuk Menentukan Kebijaksanaan Pendahuluan dalam Pengelolaan DAS. Proceedings Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, 26-27 Mei 1981. p 383-389.

Rachman, A., H. Subagjo, S. Sukmana, Hariyogyoy, B. Kartiwa, A. Muyo dan U. Sutrisno. 1997. Soil and Agroclimatic Characterization for Determining Alternatives to Slash-and-Burn. In : Van Norrdwijk, M., T.P. Tomich, D.P. Garrrity, dan A.M. Fagi (Ed.). Alternatives to slash-and-burn research in Indonesia. Workshop proceedings, 6-9 June 1995, Bogor, Indonesia. ASB-Indonesia Report No. 6. ASB-Indonesia and ICRAF-S.E. Asia, Bogor, Indonesia. p 3-19.

Sumitro, A. 1981. Pengembangan Daerah Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, 26-27 Mei 1981. p 256-271.

Read Full Post »

Melindungi hutan???

PENERAPAN PERLINDUNGAN HUTAN SESUAI DENGAN FUNGSI HUTAN

Oleh : Andi Rinto P. W., S.Hut

PENDAHULUAN

Sumberdaya hutan merupakan potensi alam sebagai salah satu “common property resources” yang sangat berharga, mengingat beragam fungsi yang sangat vital bagi keberlanjutan kehidupan lokal, regional, nasional maupun global. Dalam upaya perlindungan terhadap hutan, harus dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global. Lingkungan global menurut Soemartono adalah lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan, yaitu wadah kehidupan yang di dalamnya berlangsung hubungan saling mempengaruhi (interaksi) antara makhluk hidup (komponen hayati) dengan lingkungan setempat (komponen hayati).

Deklarasi Rio 1992 telah ditetapkan prinsip perlindungan lingkungan dalam skala global diantaranya: Article (prinsip) 4 merumuskan bahwa perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan dan tidak dipandang sebagai suatu yang terpisah. Article 7 dirumuskan bahwa setiap negara mempunyai tanggungjawab global untuk memelihara, melindungi, dan memugar kembali integritas dan kesehatan ekosistem. Dan dalam Article 11 dijelaskan bahwa setiap negara menetapkan pemberlakuan ketentuan lingkungan secara efektif, standar (baku mutu) lingkungan, sasaran manejemen dan standar lainnya yang mencerminkan konteks keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan sesuai dengan kondisi setempat.

Ketentuan dalam deklarasi Rio di atas menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lingkungan (termasuk hutan) global di dasarkan  pada dua prinsip umum, yaitu: pertama, prinsip hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya (intergrally linked with other parts of the natural system). Kedua, prinsip hubungan antara manusia dengan setiap generasinya (Fundamental relationship between different generations of human species). Pertama, prinsip di atas menunjukkan bahwa manusia bukanlah pemilik, melainkan bagian dari struktur ekosistem. Sebagai bagian dari ekosistem manusia  tidak berhak merusak, apalagi menghancurkan integritas ekosistem. Akan tetapi diantara makhluk hidup, manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan hubungan baik dengan lingkungan. Oleh karena itu harus menggunakan lingkungan hidup atau hutan sesuai dengan prinsip sustainable forest management. Prinsip kedua, memberikan kewajiban kepada manusia sebagai bagian dari suatu  generasi untuk menjaga dan memelihara bumi agar tidak mengurangi fungsi dan manfaatnya terhadap manusia lain dalam generasi yang akan datang.

PENERAPAN PERLINDUNGAN HUTAN

Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan menurut pasal 47 UU No. 41 Tahun 1999 dirumuskan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:

  1. Mencegah dan  membatasi kerusakan hutan-kerusakan hutan dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama,  serta penyakit; dan
  2. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan  dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Ada 3 (tiga) bentuk perlindungan terhadap hutan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan yaitu: (1) perlindungan tanah hutan, (2) perlindungan hasil hutan, dan (3) perlindungan hasil hutan, terutama yang terkait dengan pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan. Kedepan, faktor terpenting yang mempengaruhi efektifitas upaya perlindungan hutan adalah tersedianya instrumen hukum yang baik dalam rangka penegakan hukum baik aspek adaministrasi, aspek perdata maupun aspek pidana. Berikut kegiatan-kegiatan perlindungan hutan yang bisa diterapkan di lapangan :

A. Perlindungan Hutan Secara Preemtif

Upaya preemtif adalah kegiatan dalam upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menumbuhkan peran aktif masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan. Bentuk pelaksanaan kegiatan preemtif meliputi :

  1. Pemantapan Batas Kawasan Hutan

a. Pengukuhan status kawasan

Untuk memperoleh kepastian hukum maka setiap areal hutan yang telah ditunjuk oleh menteri yang menangani kehutanan sebagai kawasan hutan harus dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Proses pengukuhan kawasan hutan mencakup: penunjukan kawasan hutan, pemancangan sementara, pengumuman pemancangan batas, penataan batas definitif dan penetapan batas hutan serta pengukuhan kawasan hutan.

b. Pembuatan Batas Hutan

Kegiatan penataan batas hutan dikoordinir oleh Panitia Tata Batas Hutan yang diketuai oleh Bupati, sedangkan Badan Planologi Kehutanan dan aparaturnya di daerah melaksanakan penataan batas hutan secara fisik dilapangan yang meliputi pembuatan rintis batas dan pemancangan pal batas serta pemasangan tanda-tanda batas lainnya.

  1. Pemeliharaan dan Pengamanan Batas

Dalam rangka menjaga dan mempertahankan kepastian hukum atas kawasan hutan secara terus menerus maka batas kawasan hutan harus dipelihara dan diamankan. Tujuan pemeliharaan dan pengamanan batas hutan adalah untuk menjaga agar keadaan batas hutan di lapangan sacara teknis tetap baik, yaitu: rintis batas terpelihara sehingga mudah dikenali, letak, posisi dan kondisi pal batas hutan tetap dalam keadaan semula dan terhindar dari kerusakan dan tidak hilang serta tanda-tanda batas lainnya dapat membantu.

Pemeliharaan batas dilakukan terhadap batas kawasan hutan dan batas zonasi kawasan pelestarian alam, yang meliputi kegiatan :

  1. Pemeliharaan dan pengamanan rintis batas, agar rintis batas dapat berfungsi sebagai jalan inspeksi atau jalur patroli serta penghubung antara pal batas satu dengan yang lainnya.
  2. Pemeliharaan dan pengamanan pal batas, agar pal batas dapat berfungsi sebagai acuan posisi terhadap adanya gangguan pada kawasan hutan.
  3. Pemelihaaraan dan pengamanan tanda batas lainnya.

Pemeliharaan dan pengamanan batas hutan didasarkan pada hasil penataan batas kawasan hutan yang sudah ada. Setelah selesai melakukan kegiatan pemeliharaan dan pengamanan Batas Hutan Tim Pelaksana wajib membuat Berita Acara Pemeliharaan Batas yang dilampiri dengan peta hasil pemeriksaan batas/pemeliharaan batas.

B. Perlindungan Hutan Secara Preventif

Kegiatan Preventif adalah segala kegiatan yang dilaksanakan untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan kawasan dan hasil hutan. Bentuk pelaksanaan kegiatan preventif meliputi :

  1. Penjagaan Hutan

Tujuan utama penjagaan adalah untuk mengurangi ruang gerak terjadinya pelanggaran di bidang kehutanan. Kegiatan penjagaan dilakukan di pos-pos jaga yang telah ditentukan, yang penempatannya berdasarkan pada titik rawan terjadinya gangguan hutan dan hasil hutan. Titik rawan terjadinya pelanggaran yang perlu dilakukan penjagaan antara lain pelabuhan laut, jalan-jalan/sungai-sungai di mana sering dipakai mengangkut hasil hutan, dan daerah-daerah di dalam hutan yang rawan gangguan hutan. Kegiatan penjagaan terdiri dari penjagaan dengan cara pengawasan dari pos jaga dan pengawasan disekitar pos jaga dan pemeriksaan dokumen hasil hutan.

  1. Perencanaan Penjagaan; meliputi : penguasaan wilayah, mengenal sumber gangguan, dan modus operandi.
  2. Persiapan Penjagaan; agar pelaksanaan penjagaan dapat berjalan lancar perlu disiapkan perlengkapan dan peralatan penjagaan.
  3. Pelaksanaan Penjagaan; dalam pelaksanaan penjagaan, regu-regu dibagi dua bagian. Satu bagian menjaga di pos jaga dan satu bagian lagi mengadakan perondaan di sekitar pos jaga.
  4. Pelaporan; laporan pelaksanaan penjagaan dibuat setelah selesai melaksanakan tugas atau menemukan pelanggaran.
  1. Patroli Pengamanan Hutan

Patroli adalah kegiatan pengawasan pengamanan hutan yang dilakukan dengan cara gerakan dari satu tempat ke tempat lain oleh dua atau tiga orang atau lebih di wilayah hutan yang menjadi tanggung jawabnya atau daerah tertentu di mana sering terjadi pelanggaran atau kejahatan bidang kehutanan. Patroli dilaksanakan secara teratur dan selektif atau tergantung situasi dan kondisi keamanan hutan.

Tujuan patroli pengamanan hutan adalah mencegah terjadinya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan, mengetahui situasi lapangan serta melakukan tindakan terhadap pelaku pelanggaran/kejahatan yang ditemukan pada waktu patroli.

  1. Jenis Patroli Hutan; berdasarkan lokasi dan tipe medannya patroli pengamanan hutan dapat dibedakan atas : patroli darat dan patroli air.
  2. Bentuk Patroli Hutan; terdiri dari : perondaan, persambangan, dan patroli gabungan.
  3. Perencanaan Patroli; meliputi penguasaan wilayah, mengenal sumber gangguan, modus operandi, dan route patroli..
  4. Persiapan Patroli; dalam pelaksanaan kegiatan patroli, minimal dilaksanakan oleh 2 orang Polhut (Polisi Hutan).
  5. Pelaksanaan Patroli; pada waktu-waktu tertentu menghubungi pos penjagaan terdekat dengan menggunakan radio komunikasi.
  6. Petunjuk Patroli; dengan berjalan kaki, dan atau menggunakan perahu.
  7. Menemukan Kasus Pelanggaran
  8. Pelaporan; pelaporan dibuat setelah melakukan tugas atau setelah menangkap pelaku pelanggaran.

C. Pengamanan Hutan Secara Represif

Adalah kegiatan penindakan dalam rangka penegakan hukum di mana situasi dan kondisi gangguan keamanan kawasan hutan telah terjadi dan cenderung terus berlangsung atau meningkat sehingga perlu segera dilakukan penindakan terhadap pelakunya. Bentuk pelaksanaan kegiatan represif meliputi :

  1. Operasi Pengamanan Hutan

Operasi pengamanan hutan adalah kegiatan penindakan dalam rangka penegakan hukum di mana situasi dan kondisi gangguan keamanan kawasan hutan telah terjadi dan cenderung terus berlangsung atau meningkat untuk segera dilakukan penindakan terhadap pelakunya. Sifat kegiatan operasi pengamanan adalah mencegah dan menindak pelaku pelanggaran secara langsung di lapangan melalui kegiatan taktis yang mencakup tindakan penyergapan, pemeriksaan dokumen dan barang bukti, pemeriksaan pelaku, penyitaan barang bukti, penitipan barang bukti, pengamanan barang bukti, pengamanan TKP, penyelesaian administrasi lapangan dan pelaporan.

  1. Perencanaan; agar operasi pengamanan dapat berjalan efektif dan efisien serta mencapai target maka diperlukan perencanaan yang baik dan mantap.
  2. Persiapan Operasi; meliputi taktik dan teknik operasi.
  3. Pelaksanaan Operasi; dalam pelaksanaan operasi dapat dilibatkan unsur-unsur aparat keamanan dari TNI dan POLRI serta Kejaksaan.
  4. Pelaporan; dibuat setelah melakukan tugas atau setelah menangkap pelaku pelanggaran.
  5. Penyidikan; adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (pasal 1 ayat 2 KUHAP).
  6. Penuntutan; adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang, dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di depan pengadilan.
  7. Tahap Peradilan; pengadilan negeri sebagai lembaga peradilan umum, berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana yang diajukan oleh Penyidik / Penuntut Umum, atas peristiwa pidana yang terjadi dalam wilayah hukumnya masing-masing.
  1. Operasi Yustisi

Untuk dapat menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana bidang kehutanan dalam proses peradilan sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang syah yang mendukung kesalahan terdakwa. Hal ini disebabkan ketrangan saksi saja tidak cukup dan keterangan terdakwa tidak cukup karena harus disertai alat bukti yang lain. Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana pada hakekatnya untuk membina dan menyadarkan si pelaku maupun masyarakat akan akibat dari perbuatan melanggar hukum.

D. Pengendalian Penggembalaan Liar

Pengendalian penggembalaan di hutan ditekankan pada pencegahannya dengan memberikan jalan keluar. Pada dasarnya pengendalian ternak di hutan dibagi menjadi sebagai berikut :

  1. Mencegah Sama Sekali Masuknya Ternak ke Dalam Hutan

Larangan masuknya ternak ke suatu hutan tidak selalu berlaku untuk setiap waktu. Ada larangan masuknya ternak ke dalam hutan hanya sewaktu tanaman masih muda, dan apabila tajuk pohon sudah tidak dapat dicapai ternak maka penggembalaan ke dalam hutan diperbolehkan lagi. Larangan masuknya ternak ke suatu hutan setiap waktu biasanya berlaku untuk hutan lindung. Terutama hutan yang berfungsi sebagai perlindungan tata air dan erosi. Hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu pertukangan yang memerlukan kualitas kayu yang baik juga perlu dijauhkan dari penggembalaan. Kesadaran harus selaku ditanamkan kepada pemilik ternak mengenai akibat kerugian yang dapat diderita baik pada pihak kehutanan maupun pada masyarakat umum, terutama akan bahaya rusaknya tata air dan timbulnya erosi.

  1. Pengaturan Penggembalaan di Hutan

Padang penggembalaan adalah suatu bentuk penggunaan lahan untuk menggembalakan ternak. Penggembalaan ternak secara tradisional yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia mengakibatkan semakin meluasnya tanah kosong, tanah kritis, padang alang-alang dan rusaknya tanaman muda hasil rehabilitasi. Khusus untuk daerah yang masyarakatnya tidak mempunyai tempat penggembalaan, peternak dapat diharuskan memelihara ternaknya di dalam kandang, dengan disediakan tempat-tempat untuk mengambil rumput. Masyarakat pemilik ternak yang tidak suka memelihara ternak dengan sistem kandang dapat disediakan areal hutan tertentuk yang diperbolehkan digunakan untuk penggembalaan. Hutan yang ditunjuk untuk penggembalaan harus mempunyai lahan yang datar, sedang jenis pohon yang ditanam produksinya tidak memerlukan kualitas kayu yang baik, misalnya hutan yang ditanami akasia untuk keperluan kayu bakar. Untuk mencegah over grazin maka jumlah dan jenis ternak yang digembala harus diatur. Musim penggembalaanpun kalau perlu harus diatur. Tujuan utama pengelolaan hutan penggembalaan adalah untuk menjamin tersedianya pakan ternak bergizi tinggi dan merata sepanjang tahun, di samping untuk mencegah ancaman dan gangguan ternak terhadap lingkungan lainnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pengeloalaan vegetasi (tanaman).

  1. Mengatur tekanan penggembalaan

Tekanan penggembalaan (TP) yaitu jumlah unit ternak yang digembalakan pada sejumlah lahan yang tersedia di suatu areal padang penggembalaan dalam waktu tertentu. Menentukan TP perlu disesuaikan dengan kapasitas tampung (KT) lahan yang bersangkutan. KT adalah angka yang menunjukkan unit ternak yang dapat digembalakan pada luasan lahan tertentu dalam waktu tertentu tanpa menyebabkan kerusakan baik terhadap tanah, vegetasi dan ternaknya sendiri. TP yang melebiihi KT menyebabkan over grazing yang mengakibatkan hilang atau matinya sebagian atau semua vegetasi yang ada.

  1. Penggembalaan bergilir

Penggembalaan bergilir yaitu pengelolaan hutan penggembalaan permanen untuk memanfaatkan rumput sebaik-baiknya serta memberikan waktu yang cukup pada rumput untuk tumbuh kembali agar kerapatan vegetasi dapat dipertahankan. Secara fisiologis, rumput membutuhkan waktu untuk tumbuh keembali sehabis mengalami tekanan akibat penggembalaan. Pengaturan waktu tanpa penggembalaan bergilir. Misalnya darii seluruh hutan yang boleh dipakai untuk penggembalaan dibagi empat petak, tiap petak hanya boleh digunakan untuk penggembalaan selama tiga bulan, sehingga setelah waktu itu, rumput di dalam hutan penggembalaan sempat tumbuh dan baik.

  1. Mutu dan kerapatan tanaman pakan

Mutu dan kerapatan tanaman pakan penting untuk dijaga. Mutu sangat berhubungan dengan produksi ternak, sedangkan kerapatan tanaman berkaitan dengan bahaya erosi. Hal ini dapat ditempuh melalui pemilihan serta pemanfaatan jenis rumput dan legum yang cepat tumbuh, tahan terhadap injakan ternak.

E. Pengendalian Spesies Invasive

Adanya spesies invasive atau eksotik di kawasan konservasi umumnya bertentangan dengan tujuan pengelolaan dari kawasan tersebut. Kecuali kalau spesies ekosotik itu dengan sengaja diintroduksikan untuk membantu pengelolaan atau telah lama ada hingga berada dalam keseimbangan dengan ekosistem ataupun hadir atau kehendaknya sendiri. Maka jalan yang terbaik adanya mencoba membasmi atau mengendalikan spesies ekosotik tersebut. Sebagai contoh, di Taman Nasional Baluran sekarang terdapat program pembasmian Akacia arabica. untuk melenyapkan perangkap satwa eksotik, perburuan dan penggunaan perangkap merupakan metode yang paling efektif.

Bagi tanaman, penebangan atau pengupasan kulit sekeliling lingkaran batang sering dilakukan. Kadang-kadang mungkin diperlukan penggunaan herbisida selektif secara hati-hati. Sebagai contoh belukar Adacia arabica yang ditanam sebagai sekat bakar sekitar padang rumput yang dikelola di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, sekarang merambah padang penggembalaan. Semua pengelolaan untuk mengekang perambahan ini sebegitu jauh telah gagal. Dalam kasus ini, mungkin diperlukan pembunuh gulma yang selektif, walaupun racun semacam itu umumnya tidak dipergunakan di kawasan konservasi bila ada metode alternatif.

Pengendalian biologi kadang-kadang dapat efektif seperti halnya introduksi myxomatosis ke populasi kelinci di Australia dan Negara lainnya, serta introduksi ngengat Cactoblastis cactorum untuk menyerang Opuntia dan kaktus lainnya yang menjadi hawa penting di Australia dan Afrika Selatan. Namun hal ini memerlukan pengetahuan khusus dan tindakan yang berhati-hati untuk menjamin agar pengendalian tersebut benar-benar mengena spesies sasaran dan tidak berbahaya bagi satwa atau tumbuhan asli setempat.

F. Pengelolaan Populasi

Secara teori, populasi di alam tidak akan berlebihan, atau jika secara periodik terjadi demikian, faktor pembebas di alam (sumberdaya yang terbatas, iklim, penyakit, pemangsaan, atau penyebaran) akan bekerja mengendalikan besarnya populasi. Sayang sekali, hanya sedikit ekosistem yang bebas dari pengaruh manusia, atau cukup luas untuk

memungkinkan mekanisme seperti itu beroperasi secara efektif. Ini terutama terjadi pada mamalia besar di kawasan konservasi, karena cagar terluas sekalipun mungkin tidak dapat mencakup semua kebutuhan sepanjang tahun yang diperlukan bagi seluruh populasi yang terikat dalam batasannya. Selain merusak habitatnya sendiri, peningkatan jumlah suatu spesies dapat berpengaruh buruk pada habitat spesies lainnya, atau terhadap tujuan pengelolaan lainnya di kawasan yang dilindungi.

Pengendalian satwa liar dalam hutan dapat dilakukan dengan :

  1. Mengatur tempat tumbuh tanaman terutama sumber makanannya sehingga populasi binatang dapat dibatasi sampai suatu tingkat yang tinggi atau terlalu rendah,
  2. Membuat perangkat atau jerat,
  3. Memberi umpat yang diberi racun, tindakan ini berbahaya bagi lingkungan,
  4. Menjaga keberadaan predator,
  5. Mengadakan perburuan.

Semua tindakan tersebut harus diatur sebaik-baiknya dan segera dihentikan apabila populasinya sudah normal kembali. Khusus untuk burung, biasanya jarang diusahakan mengurangi jumlahnya, tetapi hanya melindungi bagian-bagian yang mungkin dirusak. Pembuatan pagar-pagar penghalang merupakan cara perlindungan yang baik dan aman lingkungan meskipun biayanya mahal. Umumnya metode pengendalian akan masuk ke dalam salah satu dari tiga kategori berikut ini :

  1. Pemilihan, dengan cara penangkapan atau pembunuhan individu yang diseleksi atau kelompok individu yang dipilih. Penjarangan adalah bentuk yang paling langsung dari pengendalian populasi dengan jumlah yang pasti dari individu terseleksi untuk dilenyapkan.
  2. Penangkapan hidup-hidup dan pemindahan. Jika dapat dipraktekan, metode ini lebih disukai daripada membunuh satwa yang berlebihan. Metode ini memungkinkan pengelola mengawasi secara lebih tepat satwa yang akan dipindahkan. Ia juga memiliki keuntungan lain yaitu satwa yang tertangkap dapat dilepaskan di kawasan lain yang habitatnya cocok tetapi jumlah satwa tertentunya kurang, atau dapat dimanfaatkan sebagai stok proyek pengembangbiakan atau kebun binatang.
  3. Pengendalian hayati. Walaupun secara teori pengendalian hayati adalah pilihan yang menarik, tetapi pada kenyataannya banyak mengundang masalah. Pengendalian hayati mungkin merupakan alat berguna untuk mengendalikan atau membasmi spesies eksotik, tetapi amat terbatas manfaatnya di kawasan yang dilindungi, di mana secara umum, segala sesuatu yang menyangkut introduksi spesies eksotik yang lebih banyak harus dihindari.

108

G. Perlindungan Hutan dari Hama dan Penyakit

Upaya-upaya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan hama dan penyakit dapat dilaksanakan melalui kegiatan :

  1. Sistem silvikultur : Pengaturan Jarak Tanam, Keragaman Jenis, Pemeliharaan, Penjarangan dan Pengolahan Tanah.
  2. Pendidikan: Peningkatan dan pengetahuan serta keterampilan petugas lapangan, Peningkatan kerjasama antar lembagaan, Tukar menukar informasi dan laporan serta Pengembangan penelitian.
  3. Penyuluhan: Penyuluhan terhadap masyarakat sekitar hutan tentang cara-cara penanggulangan hama khususnya satwa liar yang dilindungi terhadap tanaman yang dimiliki rakyat.
  4. Karantina dan Embargo: Pada dasarnya adalah suatu upaya agar hama dan penyakit tidak menyebar tau meluas. Usaha karantina dan embargo baik berasal dari peredaran dalam dan luar negeri ataupun dari jenis tegakan pohon lokal.
  5. Memelihara Musuh alami (predator): Penanggulangan alami setempat dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan semakin berfungsinya berbagai agensia pengendali alami (parasitoid, predator, pathogen, hama, dll) secara maksimal.
  6. Fisik dan Mekanik: Memodifikasi temperatur dan kadar air, Merusak habitat dari hama, Perangkap hama, Penangkapan/perburuan dengan ijin terhadap satwa liar, Melindungi secara fisik tanaman dari gangguan hama dan Pelepasan parasit atau predatornya.
  7. Kimia: Penggunaan Pestisida secara selektif (fisiologik dan ekologi) menjadi dasar utama yang berdasarkan hasil monitoring di analisa ekosistem.
  8. Biologi: Melepaskan musuh-musuh alami hingga hama dan penyakit tingkat populasinya menurun serta membina keseimbangan hayati yang ada di dalam hutan.
  9. Penanaman jenis unggul dan resisten.
  10. Pengendalian hama terpadu : Dilakukan secara bersamaan dari berbagai cara penanggulangan yang ada, diutamakan pada kegiatan pencegahan. Usaha penanggulangan terutama pengguna bahan kimia merupakan alternatif terakhir bila sudah terjadi peledakan hama dan penyakit.

G. Perlindungan Hutan dari Kebakaran

Upaya-upaya dalam rangka mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran dilakukan kegiatan pengendalian, yang meliputi :

  1. Pencegahan
  2. Pemadaman
  3. Penanganan pasca kebakaran

Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dilakukan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, unit atau kesatuan pengelolaan hutan. Dalam melaksanakan  pengendalian kebakaran hutan, Pemerintah membentuk lembaga pengendalian kebakaran hutan pada tiap level pemerintahan. Lembaga pengendalian kebakaran disebut Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan, yang bertugas menyusun dan melaksanakan program pengendalian kebakaran hutan.

KESIMPULAN

  1. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
  2. Kegiatan-kegiatan perlindungan hutan yang bisa diterapkan di lapangan, antara lain meliputi :
  1. Perlindungan hutan secara preemtif
  2. Perlindungan hutan secara preventif
  3. Perlindungan hutan secara represif
  4. Pengendalian penggembalaan liar
  5. Pengendalian spesies invasive
  6. Pengelolaan populasi
  7. Perlindungan hutan dari hama dan penyakit
  8. Perlindungan hutan dari kebakaran

DAFTAR PUSTAKA

_______, 1985. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

_______, 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta.

_______, 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

_______, 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Waldemar Hasiholan, 2008. Perlindungan dan Pengamanan Hutan Buku 1 Penegakan Hukum. Balai Taman Nasional Bukit Duabelas. Jambi.

180

DSC_7440

Read Full Post »

PENGARUH BERBAGAI METODE PRUNNING

TERHADAP PERTUMBUHAN JATI (Tectona grandis L.f.)

UMUR 7 TAHUN DI HUTAN PENDIDIKAN WANAGAMA I GUNUNGKIDUL

INFLUENCE OF PRUNING METHODS

TOWARD TEAK (Tectona grandis L.f.) GROWTH

7 YEARS OLD IN WANAGAMA I EDUCATION FOREST

Moch. Sambas Sabarnurdin[1], Sukirno Dwiasmoro Priyanto[2], Andi Rinto Prastiyo Wibowo[3]

ABSTRACT

Teak is a species of hard wood crop which planted widely in tropical area. Teak stand development was reported begun more than 150 years ago in several Pacific countries, including Indonesia (Appanah, 2000). Teak is very popular in Indonesian community. Generally, teak has been used for various aims, such as construction wood, furniture, etc.

Teak utilization for supply wood industry necessity has been tended increase, but wood production has been tended constant or descend. Moreover, condition of produced wood is still containing wood defects. The wood which contains wood defects if being processed, it will produce low quality product, difficulty process and waste. One of wood defects which often encountered was knot wood defect. The knot wood defect is generally caused by lateral branch. Besides causing knot wood defect, it will obstruct the teak growth. Because of that, its really need stand maintenance action. Silviculture action which produce stem without a lot of defect after branch former and good form of stem, it was called pruning. Pruning could be classified by three sorts; low pruning, high pruning and middle pruning. Until now, there was no specially research on pruning treatment towards teak growth. Therefore, its needed specially research about the influence of pruning methods toward teak growth, so that we’ll be able to know the exact pruning method.

The objective of this research were to knowing the influence of the pruning treatment towards teak growth and the exact pruning method towards teak crop development. This research was carried out in Wanagama I Education Forest Gunungkidul Yogyakarta for 2 years. This research was using RCBD (Randomized Completely Block Design) plan model; four blocs and four treatments (low pruning, middle pruning, high pruning, and the control). Parameters which used in this research were high, diameter, TBBC, crop buds. Observation results were analyzed by SPSS program for Windows, so that it will get the analysis of its variant (ANOVA). ANOVA which showed real different was done by the LSD (Least Significant Difference) test.

The pruning treatment evidently was gave real influence towards diameter growth, but it was not gave real influence towards high growth. The bloc formation was gave real influence towards high growth, but it was not gave real influence towards diameter growth. In general, the biggest TBBC growth was able on high prunning (PT) treatment, and it was followed by middle pruning (PH), low pruning (PR) and control (K). In general, the number of biggest buds growth was able on high prunning (PT) treatment, and it was followed by low pruning (PR), middle pruning (PH) and control (K).

Keywords : Teak, Pruning Methods, Teak Growth

INTISARI

Jati merupakan spesies tanaman kayu keras yang telah ditanam secara luas didaerah tropis. Pembangunan tegakan jati dilaporkan dimulai lebih dari 150 tahun yang lalu di beberapa negara Pasifik, termasuk Indonesia (Appanah, 2000). Jati sangat populer di masyarakat Indonesia. Pada umumnya jati digunakan untuk berbagai tujuan yaitu kayu konstruksi, furniture, dan lain-lain.

Pemanfaatan jati untuk memenuhi kebutuhan industri kayu cenderung meningkat, namun produksi kayu ini cenderung tetap atau menurun. Selain itu, kondisi kayu yang dihasilkan masih mengandung cacat-cacat kayu. Kayu yang mengandung cacat-cacat kayu apabila diolah menghasilkan produk dengan kualitas yang rendah, kesulitan dalam proses dan banyak dihasilkan limbah. Salah satu cacat kayu yang banyak dijumpai adalah cacat mata kayu. Cacat mata kayu umumnya disebabkan karena cabang lateral. Selain menyebabkan cacat mata kayu, adanya cabang pada pohon ini akan menghambat pertumbuhan jati. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya tindakan pemeliharaan tegakan. Tindakan silvikultur agar batangnya pada saat pemungutan tidak banyak terdapat cacat karena bekas percabangan dan bentuk batangnya bagus adalah pruning. Pruning dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu pruning rendah, tinggi dan tengahan. Selama ini belum ada yang mengkaji secara khusus perlakuan pruning terhadap pertumbuhan jati. Oleh sebab itu perlu dikaji yang mendalam tentang pengaruh metode pruning terhadap pertumbuhan jati, sehingga dapat diketahui metode pruning yang tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pruning terhadap pertumbuhan jati dan metode pruning yang tepat terhadap perkembangan tanaman jati. Dilaksanakan di Hutan Pendidikan Wanagama I Gunungkidul Yogyakarta selama 2 tahun. Penelitian menggunakan model rancangan RCBD (Randomized Completely Block Design) empat blok dan empat perlakuan (pruning rendah, tengah, tinggi, dan kontrol). Parameter yang digunakan tinggi, diameter, TBBC, pertunasan tanaman. Hasil pengamatan dianalisis mengunakan program SPSS for Windows sehingga diperoleh analisis variannya (ANOVA). Dari ANOVA yang menunjukkan berbeda nyata dilakukan uji LSD (Least Significant Difference).

Perlakuan pruning ternyata memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Pembentukan Blok memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter. Rata-rata pertumbuhan TBBC terbesar pada perlakuan PT,diikuti  PH, PR dan K. Rata-rata jumlah tunas terbesar pada perlakuan PT, diikuti PR, PH dan K.

Kata Kunci : Jati, Metode Pruning, dan Pertumbuhan Jati

PENDAHULUAN

Jati merupakan spesies tanaman kayu keras yang telah ditanam secara luas didaerah tropis. Pembangunan tegakan jati dilaporkan dimulai lebih dari 150 tahun yang lalu di beberapa negara Pasifik, termasuk Indonesia (Appanah, 2000). Jati sangat populer di masyarakat Indonesia. Pada umumnya jati digunakan untuk berbagai tujuan yaitu kayu konstruksi, furniture, dan lain-lain.

Pemanfaatan jati untuk memenuhi kebutuhan industri kayu cenderung meningkat, namun produksi kayu ini cenderung tetap atau menurun. Selain itu, kondisi kayu yang dihasilkan masih mengandung cacat-cacat kayu. Kayu yang mengandung cacat-cacat kayu apabila diolah menghasilkan produk dengan kualitas yang rendah, kesulitan dalam proses dan banyak dihasilkan limbah. Salah satu cacat kayu yang banyak dijumpai adalah cacat mata kayu. Cacat mata kayu umumnya disebabkan karena cabang lateral. Selain menyebabkan cacat mata kayu, adanya cabang pada pohon ini akan menghambat pertumbuhan jati. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya tindakan pemeliharaan tegakan.

Tindakan silvikultur agar batangnya pada saat pemungutan tidak banyak terdapat cacat karena bekas percabangan dan bentuk batangnya bagus adalah pruning. Pruning dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu pruning rendah, tinggi dan tengahan. Selama ini belum ada yang mengkaji secara khusus perlakuan pruning terhadap pertumbuhan jati. Oleh sebab itu perlu dikaji yang mendalam tentang pengaruh metode pruning terhadap pertumbuhan jati, sehingga dapat diketahui metode pruning yang tepat.

BAHAN DAN METODE

  1. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah tegakan jati (Tectona grandis L.f.) umur 7 tahun di Hutan Pendidikan Wanagama I Gunungkidul.

  1. Diskripsi Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di petak 16 Hutan Pendidikan Wanagama I, desa Banaran, kecamatan Playen, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2006 sampai dengan Desember 2007.

  1. Prosedur Penelitian

Penelitian menggunakan model rancangan RCBD (Randomized Completely Block Design) empat blok dan empat perlakuan (pruning rendah, tengah, tinggi, dan kontrol). Parameter yang digunakan tinggi, diameter, TBBC, pertunasan tanaman.

Bagan alir prosedur penelitian adalah sebagai berikut :

  1. Analisis Data

Hasil pengamatan kemudian dianalisis dengan mengunakan program SPSS for Windows sehingga diperoleh analisis variannya (ANOVA).

Tabel Analisis Varian (ANOVA)

Sumber Varian

Derajat Bebas

(db)

Jumlah Kuadrat

(JK)

Kuadrat Tengah

(KT)

F hitung

Perlakuan (P)

Blok (B)

Error

Total

P – 1

B – 1

(P – 1) (B – 1)

PB – 1

JKP

JKB

JKE

JKT

JKP/db

JKP/db

JKE/db

KTP/KTE

KTB/KTE

Sumber: Gromer (1995)

Selanjutnya apabila hasil analisis varian tersebut berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui sejauhmana perbedaan nilai rata-rata perlakuan. Jika nilai rata-rata perlakuan lebih besar dari pada nilai LSD maka kedua perlakuan dinyatakan berbeda. Formula untuk uji LSD adalah sebagai berikut:

Keterangan:

KTE      = Kuadrat Tengah Error

ta         = Nilai baku t pada taraf uji dengan db error dan jumlah sample n

(Tabel t LSD)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini meliputi nilai-nilai tinggi tanaman, diameter tanaman, tinggi batang bebas cabang (Tbbc), pertunasan, dan hubungan curah hujan dengan riap tanaman.

  1. Tinggi Tanaman

Rata-rata pertumbuhan tinggi

Pertumbuhan merupakan bertambahnya ukuran yang bersifat tetap dari berbagai proses fisiologis. Pertumbuhan tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, selain hal tersebut perlakuan-perlakuan yang diterapkan dalam tegakan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil pengukuran rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman jati umur 7 tahun di petak 16 Hutan Pendidikan Wanagama I secara lengkap disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Rata-rata Pertumbuhan Tinggi (cm)

Perlakuan

Blok

Jumlah

Rata – rata

I

II

III

IV

P R

9,40

8,15

10,05

12,50

40,10

10,02

P H

9,50

8,50

9,05

11,95

39,00

9,75

P T

10,45 10,20 10,80

10,25

41,70

10,42

K

9,30 8,35 8,90

10,55

37,10

9,28

Jumlah

38,65 35,20 38,80

45,25

157,90

Rata-rata

9,66 8,80 9,70

11,31

Keterangan :  P R = Pruning Rendah

P H = Pruning Tengahan

P T = Pruning  Tinggi

K  = Kontrol

Pengaruh perlakuan dan blok terhadap pertumbuhan tinggi dapat diketahui dari hasil analisis varians pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Analisis Varians Pertumbuhan Tinggi (cm)

Sumber

Variasi

Db

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F.

Hitung

F.

Tabel

Perlakuan

Blok

Error

Total

3

3

9

15

2,80

13,19

6,64

22,63

0,93

4,39

0,74

1,51

1,26 ns

5,93 *

3,86

3,86

Keteranagan =  ns ; tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05

*  ;  berbeda nyata pada taraf uji 0,05

Dari hasil analisis varians pada Tabel 1.2. untuk perlakuan terhadap tinggi tanaman diperoleh bahwa Fhitung= 1,26 < Ftabel= 3,86 berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata/ non signifikan pada taraf uji 0,05. Efek blok terhadap pertumbuhan tinggi menunjukkan bahwa nilai Fhitung= 5,93 > Ftabel=3,86 yang berarti terdapat perbedaan yang nyata/ signifikan. Nilai signifikansi antara Blok dengan rerata pertumbuhan tinggi dilakukan uji lanjut LSD pada taraf uji 0,05 (Tabel 1.3.).

Tabel 1.3. Uji LSD Pengaruh Blok terhadap Pertumbuhan Tinggi Tanaman

Blok

Rerata Pertumbuhan Tinggi (cm)

II

8,80   a

I

9,66   a

III

9,70   a

IV

11,31   b

Keterangan : Rerata yang dihubungkan dengan huruf yang sama berarti

tidak berbeda nyata pada level kepercayaan 0,05.

Hasil uji lanjut LSD menunjukkan adanya perbedaan pada taraf uji 0,05 bahwa untuk Blok IV lebih baik dengan tiga blok yang lain,  jadi dapat dikatakan bahwa blok IV paling baik pertumbuhannya. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai LSD sebesar 1,36. Untuk pemetaan LSD terdapat pada tabel 1.3.

Efek perlakuan terhadap pertumbuhan tinggi menunjukkan bahwa pruning tinggi (PT) menghasilkan rata-rata pertumbuhan tinggi terbesar yaitu 10,43 cm, diikuti dengan PR, PH, dan Kontrol (Gambar 1.1.).

Gambar 1.1.  Hubungan Perlakuan Pruning terhadap

Rata-rata Pertumbuhan Tinggi Tanaman

2. Diameter Tanaman

Hasil Rata-rata Pertumbuhan Diameter

Diameter pohon merupakan salah satu parameter pohon yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan dan tentang potensi hutan untuk kepentingan pengelolaan hutan. Pertumbuhan diameter suatu tanaman merupakan hasil aktivitas kambium yang selalu membelah pada musim tumbuh kearah samping atau lateral. Pertumbuhan diameter tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, selain hal tersebut perlakuan-perlakuan yang diterapkan dalam tegakan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil pengukuran rata-rata pertumbuhan diameter tanaman jati umur 7 tahun di petak 16 Hutan Pendidikan Wanagama I secara lengkap disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Rata-rata Pertumbuhan Diameter (cm)

Perlakuan

Blok

Jumlah

Rata – rata

I

II

III

IV

P R

0,69

0,61

0,62

0,68

2,60

0,65

P H

0,59

0,58

0,49

0,50

2,16

0,54

P T

0,51

0,62

0,48

0,50

2,11

0,53

K

0,56

0,60

0,62

0,66

2,44

0,61

Jumlah

2,35

2,41

2,21

2,34

9,31

Rata-rata

0,59

0,60

0,55

0,59

Keterangan :  P R = Perlakuan Pruning Rendah

P H = Perlakuan Pruning Tengahan

P T = Perlakuan Pruning Tinggi

K  = Perlakuan Kontrol

Pengaruh perlakuan dan blok terhadap pertumbuhan diameter dapat diketahui dari hasil analisis varians pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Analisis Varians Pertumbuhan Diameter (cm)

Sumber

variasi

db

Jumlah Kuadrat

Kuadrat tengah

F.

Hitung

F.

Tabel

Perlakuan

Blok

Error

Total

3

3

9

15

0,0405

0,0053

0,025

0,0135

0,0018

0,0028

4,8   *

0,64 ns

3,86

3,86

Keterangan  =  ns ; tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05

*   ;  berbeda nyata pada taraf uji 0,05

Dari hasil analisis varians pada Tabel 2.2. untuk variasi perlakuan terhadap pertumbuhan diameter tanaman diperoleh bahwa Fhitung= 4,8 > Ftabel= 3,86 berarti terdapat perbedaan yang nyata/ signifikan antara perlakuan (PR) Pruning Rendah, (PH) Pruning Rendah, (PT) Pruning Tinggi, dengan (K) Kontrol.

Variasi blok terhadap pertumbuhan diameter tanaman diperoleh bahwa Fhitung= 0,64 < Ftabel= 3,86 berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata/non signifikan (Tabel 2.2.).

Tabel 2.3. Uji LSD Pengaruh Perlakuan Pruning terhadap Pertumbuhan Diameter Tanaman

Perlakuan

Rerata pertumbuhan diameter (cm)

PT

0,53   a

PH

0,54   a

K

0,61   a b

PR

0,65      b

Keterangan : Rerata yang dihubungkan dengan huruf yang sama berarti

tidak berbeda nyata pada level kepercayaan 0,05.

Nilai LSD yang diperoleh sebesar 0,075. Hasil pengujian lanjutan dengan metode LSD menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter. Akan tetapi, dari pemetaan uji LSD (Tabel 2.3.) menunjukkan bahwa PR memiliki rerata pertumbuhan paling tinggi yaitu 0,65 cm.

Efek perlakuan terhadap pertumbuhan diameter menunjukkan bahwa pruning rendah (PR) menghasilkan rata-rata pertumbuhan  diameter terbesar yaitu 0,65 cm, diikuti oleh Kontrol, PH, dan PT (Gambar 2.1.).

Gambar 2.1. Hubungan Perlakuan Pruning terhadap Rata-rata

Diameter Tanaman

3. Tinggi Batang Bebas Cabang (TBBC) Tanaman

Hasil Rata-Rata  TBBC (cm)

Tinggi batang bebas cabang merupakan tinggi pohon yang diukur dari jarak antara pangkal di tanah dengan awal percabangan. Hasil pengukuran rata-rata tinggi batang bebas cabang pada setiap perlakuan  disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Rerata TBBC  pada Setiap Perlakuan

Berdasarkan Gambar 3.1. dapat diketahui bahwa rata-rata tinggi batang bebas cabang terbesar terdapat pada perlakuan  pruning tinggi (PT), kemudian diikuti pruning tengah (PH), pruning rendah (PR), dan kontrol (K).

4. Pertunasan  Tanaman

Rata-rata pertunasan

Pertumbuhan tunas jati  sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama dengan curah hujan. Semakin tinggi curah hujan maka akan semakin banyak tunas yang bermunculan. Pada bekas pruning yang tidak sempurna, biasanya akan tumbuh tunas baru. Pengukuran tunas ini, dilakukan pada setiap perlakuan pohon dan dihitung banyaknya tunas yang bermunculan kemudian di rata-ratakan. Rata–rata hasil  pertunasan tanaman disajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Rata-rata Jumlah Tunas pada Setiap Perlakuan

Berdasarkan Gambar 4.1. dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah tunas  terbesar yaitu terdapat pada perlakuan pruning tinggi (PT), kemudian pruning rendah (PR), pruning tengah (PH), dan kontrol (K).

5. Hubungan curah hujan dengan riap tanaman

Faktor iklim sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan. Hari hujan di Wanagama I Gunung Kidul Yogyakarta saat penelitian yaitu pada  bulan Januari tahun 2006 sampai bulan September 2007 sangat bervariasi.

Gambar 5.1. Jumlah Hari Hujan di Hutan Pendidikan Wanagama I

(periode bulan januari 2006 s/d September 2007)

Jumlah hari hujan yang ada tidak lebih dari 20 hari. Pada bulan Januari sampai dengan Mei 2006 terdapat hari hujan, diikuti pada bulan Juni sampai dengan November 2006 merupakan bulan kering dimana tidak terdapat hari hujan. Data hari hujan pada bulan Desember sampai dengan Juni 2007 terdapat hari hujan dengan frekuensi yang fluktuatif, kemudian pada pengamatan terakhir sampai bulan September 2007 tidak terdapat hari hujan. Dalam pengamatan ini yang terintegrasi dengan waktu penelitian, curah hujan yang ada dari setiap pengamtan berbeda-beda dan fluktuatif (Gambar 5.1.).

Terdapat pengaruh antara pertumbuhan (riap) diameter dengan curah hujan. Pada setiap pengamatan, pada umumnya riap diameter naik. Riap diameter tanaman tertinggi naik pada pengamatan pertama sampai pengamatan kedua yaitu dari bulan September 2006 sampai dengan Maret 2007. Pada bulan ini terdapat 3 bulan dengan hari hujan yaitu bulan Maret sampai dengan Mei 2006. Sedangkan riap terendah terdapat pada pengamatan terakhir yaitu Maret  sampai dengan September 2007. Pada pengamatan ini terdapat 4 bulan hujan (Maret-Juni 2007) (Gambar 5.2.).

Gambar 5.2. Riap Diameter selama Pengamatan

Data pertumbuhan (riap) tinggi berbeda dengan diameter. Riap terendah terdapat pada pengamatan pertama sampai dengan pengamatan kedua, sedangkan riap tertinggi terdapat pada pengamatan kedua sampai terakhir (Gambar 5.3.).

Gambar 5.3. Riap Tinggi selama Pengamatan

Pada pengamatan kedua sampai terakhir (peningkatan riap tertinggi) yaitu bulan Maret sampai dengan September 2007, dimana terdapat 4 bulan dengan hari hujan. Pada pengamatan pertama sampai dengan kedua (peningkatan riap terendah) terdapat 3 bulan dengan hari hujan (Gambar 5.3.).

Pertumbuhan tunas juga dipengaruhi oleh adanya curah hujan. Pada pengukuran munculnya tunas-tunas baru yang ada pada masing-masing pohon,  diperoleh nilai total tunas yang muncul pada pengamatan ke dua yaitu bulan September 2006 didapat 23 tunas, pengamatan ketiga pada bulan Maret 2007 didapat 103 tunas. Pada pengamatan terakhir didapat yaitu 71 tunas. Peningkatan jumlah tunas tertinggi yaitu bulan Maret 2007 dan kemudian menurun pada bulan September 2007, dimana pada bulan Maret 2007 terdapat jumlah hari hujan tertinggi dan sebelumnya dari bulan Desember 2006 sampai bulan Maret 2007 terjadi hujan yaitu 4 bulan dengan hari hujan. Pada pengamatan pertama sampai dengan terakhir  (peningkatan jumlah tunas terendah) terdapat pada bulan September dikarenakan pada bulan tersebut tidak terjadi hujan (Gambar 5.4.).

Gambar 5.4. Pertumbuhan Tunas Total selama Pengamatan

Berdasarkan uraian diatas berarti bahwa curah hujan sebagai faktor lingkungan sangat mempengaruhi dalam pertumbuhan pertunasan pohon. Dengan adanya curah hujan yang tinggi keadaan pertunasan tidak mengalami gugur atau meranggas, untuk mengetahui pertumbuhan pertunasan pohon selain faktor genetik, faktor lingkungan juga harus diperhatikan untuk keberhasilan dalam suatu penanaman.

6. Pengaruh Berbagai Metode Pruning terhadap Pertumbuhan

a. Pengaruh pruning dan blok terhadap tinggi tanaman

Pruning tinggi menghasilkan rata-rata pertumbuhan tinggi terbesar yaitu 10,42 cm, dibandingkan perlakuan yang lain (PR, PH, K). Pertumbuhan tinggi lebih dipengaruhi oleh faktor genetik. Pada saat dilakukan perlakuan pruning, pohon mengalami perubahan proses fisiologi dikarenakan berkurangnya daun, ranting, dan cabang. Keadaan tersebut mengakibatkan peningkatan hormon-hormon pada bekas pangkasan, misalnya hormon auksin untuk perbaikan sel-sel dan proses pemulihan luka pada bekas pangkasan.

Pada saat melakukan pruning tinggi berarti menghilangkan tajuk sebanyak 2/3 bagian, sehingga yang tersisa hanya 1/3 bagian dari tinggi tajuk. Hal ini mengakibatkan peningkatan hormon auksin dalam proses perbaikan sel dan penutupan luka pada bekas pangkasan. Selain itu juga merangsang pertumbuhan pada titik apikal, sehingga terjadi penambahan tinggi yang signifikan.

Perlakuan pruning yang telah dilakukan terhadap tanaman jati belum mempunyai pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hal ini dikarenakan waktu penelitian yang relatif masih singkat dan umur tanaman yang telah mencapai 7 tahun serta belum pernah dilakukan perawatan secara rutin termasuk perawatan pemangkasan cabang atau pruning.

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan meninggi adalah kesuburan tanah, curah hujan, kelembaban, suhu udara, ketersediaan CO2, cahaya matahari dan sifat genetik  yang dimilikinya yaitu stomata, mekanisme pembelahan sel, sifat kimia tanaman, respirasi, sistem metabolisme tanaman. Kecepatan meninggi sangat bervariasi menurut spesies dan umur tanaman. Dalam pertumbuhannya tanaman mengikuti kurva sigmoid, mempunyai percepatan pertumbuhan yang relatif pendek semasa seedling dan percepatan pertumbuhan yang paling besar pada waktu muda dan periode panjang dengan pertumbuhan yang bisa diabaikan pada waktu tuanya.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan meninggi adalah umur, kesuburan tanah, cahaya matahari, dan sifat keseimbangan yang dimilikinya. Pada sumber variasi Blok menunjukkan bahwa Blok IV rata-rata pertumbuhan tinggi paling besar yaitu 11,31 cm, dibandingkan dengan Blok lainnya. Hal ini dikarenakan pada Blok IV memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi dibandingkan dengan Blok lainnya, dengan ciri-ciri solum tanah lebih tebal, banyak tumbuhan bawah, dan topografinya lebih datar. Pertumbuhan tanaman jati pada Blok IV relatif baik karena kompetisi antar pohon relatif kecil dalam memperoleh cahaya, sehingga proses-proses fisiologi dan proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik.

Pada data pengamatan curah hujan bahwa curah hujan tersebut mempengaruhi riap tinggi tanaman, semakin intensitas curah hujan tinggi maka semakin bertambah pula tinggi pohon (Gambar 5.3).

b. Pengaruh pruning dan blok terhadap diameter tanaman

Pertumbuhan diameter batang sangat dipengaruhi oleh iklim dan kerapatan tegakan. Pertumbuhan diameter suatu tanaman merupakan hasil aktivitas kambium yang selalu membelah pada musim tumbuh kearah samping atau lateral. Pertumbuhan diameter lebih dipengaruhi fluktuasi keadaan lingkungan terutama persediaan air.

Pada perlakuan pruning rendah diperoleh rata-rata pertumbuhan diameter terbesar yaitu 0,65 cm, sehingga pertumbuhannya paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Ketika kita melakukan pruning rendah yaitu menghilangkan tajuk kira-kira 1/3 bagian dari panjang tajuk. Hal ini sebenarnya membantu dalam menghilangkan daun-daun tua dan cabang-cabang bawah yang jelek serta cabang yang telah mengalami rapuh/ mati, sehingga yang tersisa adalah tajuk yang bagus dan masih baik dalam melakukan proses fotosintesisi. Pada pruning rendah hanya sedikit cabang yang dipangkas, sehingga hasil fotosintesis pohon tetap mencukupi untuk pertumbuhan selanjutnya. Selain itu, dengan adanya pruning rendah ini akan merangsang pertumbuhan tanaman.Sedangkan pruning tinggi memilki rata-rata pertumbuhan diameter terkecil yaitu 0,53 cm, hal ini dikarenakan pada pruning tinggi banyak cabang yang dipangkas dan mengurangi hasil fotosintesis. Pada pertumbuhan awal, fotosintesis masih mencukupi untuk pertumbuhan diameter tetapi pertumbuhan selanjutnya (pengamatan selanjutnya) mulai berkurang.

Pada blok II menunjukkan rata-rata pertumbuhan diameter tanaman yang paling besar yaitu 0,60 cm, kemudian blok I dan blok IV sebesar yaitu 0,59 cm, dan  blok III sebesar yaitu 0,55 cm. Melihat rata-rata pertumbuhan diameter pada masing-masing blok menunjukkan rata-rata pertumbuhan diameter yang hampir sama, sehingga pengaruh variasi blok tidak menunjukan berbedaan yang berarti.

Hasil analisis data menunjukkan perlakuan pruning mempunyai pengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman, walaupun secara visual perlakuan pruning belum memperlihatkan perbedaan yang berarti terhadap diameter tanaman dikarenakan waktu penelitian yang relatif masih singkat dan umur tanaman yang telah mencapai 7 tahun serta belum pernah dilakukan perawatan secara rutin termasuk perawatan pemangkasan cabang atau pruning. Terdapat  variasi pertumbuhan diameter dari 4 perlakuan pruning dan hal ini mempunyai pengaruh nyata atau dapat dikatakan bahwa dengan adanya pruning dapat meningkatkan pertumbuhan diameter.

Pertumbuhan diameter suatu tanaman merupakan hasil aktivitas kambium yang selalu membelah pada musim tumbuh ke arah samping atau lateral. Berbeda dengan pertumbuhan meninggi yang dipengaruhi oleh faktor genetik, pertumbuhan diameter lebih dipengaruhi oleh fluktuasi keadaan lingkungan terutama persediaan air. Diameter merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan indikasi mengenai besarnya volume pohon. Pengukuran diameter pohon dapat dilakukan dengan mengasumsikan bahwa keliling pohon merupakan lingkaran. Pertumbuhan pada dasarnya merupakan hasil interaksi berbagai proses fisiologis yang terjadi pada suatu tanaman, sedangkan proses fisiologis pada tanaman tergantung pada peranan potensi genetik dan lingkungannya, selanjutnya dikatakan untuk mengetahui adanya perbedaan reaksi pada tanaman terhadap lingkungannya atau terhadap perlakuan yang dialami perlu diketahui bagaimana proses-proses pengatur pertumbuhan ini dipengaruhi faktor lingkungan dan faktor genetik akan menentukan pertumbuhan pohon baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Pada data pengamatan curah hujan bahwa curah hujan tersebut mempengaruhi riap diameter tanaman, semakin intensitas curah hujan tinggi maka semakin bertambah pula diameter pohon. (Gambar 5.2.).

c. Pengaruh pruning dan blok terhadap tinggi batang bebas cabang

Tinggi batang bebas cabang adalah tinggi pohon yang diukur dari pangkal batang sampai cabang pertama (diameter cabang minimal 1/3 dari diameter batang dimana cabang tersebut melekat). Pada pruning tinggi (PT) menunjukkan rata-rata TBBC tanaman yang paling besar, kemudian pruning tengah (PH), pruning rendah (PR), dan kontrol (K) menunjukkan rata-rata TBBC tanaman yang paling rendah (PT>PH>PR>K). Dengan mengacu terhadap definisi dari pruning rendah, pruning tengah, pruning tinggi dan kontrol, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pengurangan cabang yang paling banyak adalah pruning tinggi (PT), kemudian pruning tengah (PH), pruning rendah (PR), dan perlakuan kontrol atau tidak dipruning. Oleh kaena itu dalam menghitung TBBC tanaman yaitu pruning tinggi (PT) memperoleh hasil paling besar.

Besarnya nilai tinggi batang bebas cabang tanaman belum tentu mengindikasikan besarnya volume kayu bulat yang akan kita dapatkan, karena besarnya volume kayu yang akan kita peroleh tergantung juga dengan besarnya diameter batang. Sehingga untuk menentukan besarnya volume kayu bulat kita tidak saja melihat TBBC-nya tetapi juga berapa besar volume batang tersebut.

Pertumbuhan tinggi batang bebas cabang juga dipengaruhi oleh kondisi perakaran, selain itu juga dipengaruhi oleh ruang tumbuh, pemeliharaan terhadap tanaman serta intensitas cahaya yang diterima tanaman, hal ini berkaitan dengan terjadinya pruning alami (pelepasan cabang-cabang) pada cabang bagian bawah. Proses terjadinya pruning terdiri dari tiga langkah, yang pertama adalah proses kematian cabang, yang kedua proses peneduhan cabang yang mati dan yang ketiga adalah proses lepasnya cabang dari batang. Proses tersebut menyebabkan batang bebas cabang yang tinggi disamping itu pruning dapat terjadi adanya gangguan dari manusia untuk memanfaatkan bagain dari tanaman baik berupa cabang atau daun dengan cara memangkas sehingga mempengaruhi tinggi batang bebas cabang (Sheperd, 1986).

Menurut Sumarna (2004), tanaman (kayu) jati yang baik bila mempunyai batang yang bebas cabang dari percabangan setinggi 4 m, artinya percabangan mulai ada setelah batang mencapai 4 m, namun berdasarkan hasil pengukuran di lapangan diketahui bahwa tinggi batang bebas cabang tanaman jati berfariasi. Agar diperoleh batang yang baik, lurus dan memiliki tinggi batang bebas cabang yang besar, maka dilakukan tindakan pruning secara intenssif yaitu mematikan tunas atau cabang yang tumbuh dari batang inti serta pemangkasan dilakukan dengan hati-hati.

d. Pengaruh pruning dan blok terhadap pertunasan tanaman

Dari hasil pengukuran pertunasan tanaman, perlakuan pruning tinggi (PT) menunjukkan rata-rata pertunasan tanaman yang paling besar, kemudian pruning rendah (PR), pruning tengah (PH), dan kontrol (K) menunjukkan rata-rata pertunasan tanaman yang paling rendah. Dengan diadakannya pruning atau pemangkasan cabang maka merangsang tumbuhnya tunas baru pada sekitar bekas pemangkasan. Dengan teknik pemangkasan cabang yang benar, maka akan mengurangi munculnya tunas-tunas baru. Dengan demikian  memangkas cabang yang terlalu banyak, efek dari pangkasan tersebut akan merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru. Hal ini terbukti dengan di lakukannya pruning tinggi, maka jumlah tunas yang tumbuh juga paling banyak.

Upaya untuk menanggulangi dari akibat timbulnya tunas-tunas baru yang akan merusak kualitas kayu maka kita harus melakukan perawatan tanaman secara rutin dan dengan cara yang benar, terutama pada blok yang rata-rata pertunasannya paling banyak.

Dari hasil pembahasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam penelitian ini pengaruh pelaksanaan pruning belum jelas terlihat. Hal ini belum terbukti dikarenakan waktu penelitian yang belum relatif lama dan umur tanaman yang telah berumur 7 tahun serta faktor lain yaitu penggunaan alat dan juga faktor manusia yang menjadikan error tinggi. Di tambah dalam pengambilan data tinggi pohon yang masih manual yaitu dengan menggunakan galah dengan tinggi tanaman yang relatif sangat tinggi yaitu mencapai kurang lebih 13 meter. Hal ini menyulitkan dalam pengambilan data tinggi tanaman serta menjadikan error yang  lebih tinggi.

e. Curah Hujan

Curah hujan mempengaruhi pertumbuhan jati baik riap tinggi, diameter maupun jumlah tunas. Dari hasil penelitian, riap tinggi akan meningkat ketika terdapat sedikit bulan dengan hari hujan, jadi pertumbuhan meninggi tidak hanya dipengarui oleh curah hujan saja. Pada hasil pengamatan riap tinggi meningkat antara bulan September 2006 s/d Maret 2007 sebesar yaitu 10,86 cm dengan 4 bulan hari hujan dan antara pengamatan bulan Maret 2007 s/d September 2007 sebesar yaitu 21,53 cm dengan 4 bulan hari hujan, tetapi pada pengamatan awal riap tinggi bulan Maret 2006 s/d September 2006 sebesar yaitu 7,46 cm.

Pada awal pengamatan  riap tinggi tidak begitu besar, tetapi pada pengamatan selanjutnya riap tinggi terdapat peningkatan yang tajam. Hal ini berarti pertumbuhan meninggi tidak dikendalikan oleh curah hujan yang lebih besar. Berbeda dengan diameter, pertumbuhan membesar dari tanaman jati akan meningkat lebih besar ketika terdapat pada bulan dengan hari hujan yang frekuensinya lebih tinggi. Dengan demikian, pertumbuhan diameter dikendalikan juga oleh curah hujan yang lebih tinggi.

Pertumbuhan tinggi lebih dipengaruhi oleh faktor genetik. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan meninggi adalah umur, kesuburan tanah, cahaya matahari, dan sifat keseimbangan yang dimilikinya. Kecepatan meninggi sangat bervariasi menurut spesies dan umur tanaman. Dalam pertumbuhannya tanaman mengikuti kurva sigmoid, mempunyai percepatan pertumbuhan yang relatif pendek semasa seedling dan percepatan pertumbuhan yang paling besar pada waktu muda dan periode panjang dengan pertumbuhan yang bisa diabaikan pada waktu tuanya.

Pada pengamatan riap diameter terbesar terjadi antara bulan september 2006 s/d Maret 2007 dengan 4 bulan hari hujan sebesar yaitu 0,95 cm. Pada pengamatan ini terjadi hari hujan paling tinggi yaitu 55 hari, sehingga bisa dikatakan bahwa riap diameter tertinggi terjadi pada musim penghujan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kramer dan Kozlowski (1978) yang menyatakan bahwa pertumbuhan diameter lebih dipengaruhi oleh fluktuasi keadaan lingkungan terutama persediaan air.

Pada musim penghujan tiba, tunas-tunas baru akan bermunculan, baik itu tunas-tunas air atau bahkan tunas-tunas pada bekas pangkasan yang kurang sempurna. Pada pangkal ketiak daun yang telah gugur akan tumbuh tunas baru. Setelah intensitas hujan semakin tinggi maka jati mulai menghijau kembali disusul dengan adanya tumbuhan bawah yang mendominasi dibawah tegakan jati. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa munculnya tunas-tunas baru bertepatan dengan pengamatan dimana terdapat bulan dengan hari hujan yang lebih besar (bulan basah). Hal ini juga mengindikasikan bahwa pertumbuhan lateral sangat dipengaruhi adanya air hujan.

Jadi dalam hal ini curah hujan juga mempengaruhi pertumbuhan. Akan tetapi intensitas curah hujan yang tinggi akan berdampak negatif terhadap bekas pruning, yaitu dapat memicu jamur pembusuk batang pada bekas luka pruning. Akibat dari ini menjadikan cacat mata kayu. Untuk menghindari masalah ini yaitu dengan melakukan pruning pada waktu yang tepat yaitu pada akhir musim hujan. Dan juga menerapkan metode teknik pruning yang tepat dan menggunakan alat pruning yang sesuai dan tajam.

KESIMPULAN

  1. Perlakuan pruning memberikan pengaruh nyata ternyata terhadap pertumbuhan diameter, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi.
  2. Pada perlakuan pruning rendah diperoleh rata-rata pertumbuhan diameter sebesar yaitu 0,65 cm, sehingga pertumbuhannya paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
  3. Rata-rata pertumbuhan TBBC terbesar pada perlakuan pruning tinggi, diikuti  pruning tengah, pruning rendah dan kontrol.
  4. Rata-rata jumlah tunas terbesar pada perlakuan pruning tinggi, diikuti pruning rendah, pruning tengah dan kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Appanah, S., 2000. Site, Technology and Productivity of Teak Plantations. Research Support Programmer for Asia And Pacific and Agriculture Organization of the United Nations, Bangkok.

Apriyanto, 2002. Evaluasi Pertumbuhan A. mangium dan A. crassicarpa Pada Tanah Podsolik Merah Kuning dan Gambut di PT. Arara Abadi, Riau. Skripsi Instiper Yogyakarta. Tidak di Publikasikan.

Baker, 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Benson, L., 1957. Plant Classification. Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi.

Brown, A. G. and Pawsey, C. K., 1959. A Study of Stub Length and Occlnsion Depth Following Pruning in Pinus radiata. Aust. For 23, 63-70.

Cown, D. J., 1974. Comparison of the effect of two thinning regimes on same wood properties of radiata pine. N. Z. J. For. Sci. 4, 540-51.

Fielding, J. M., 1964. The pruning of plantation-grown pines. Commonw. For. Rev. 43, 303-14.

Gomes, Kwanchai A., 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Universitas Gadjah Mada (UI-Press). Jakarta.

Hardjodarsono, 1984. Jati. Cetakan ke-4. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Volume II. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Indonesia. Bogor.

Jacobs, M. R., 1938. Notes on pruning Pinus radiata. Part I. Observations on fentures which influence pruning. Canberra, Commonw. For. Bureau. Bull. No. 23 27pp.

Kramer and Kozlowski, 1978. Physiologi of Woody Plants. Academic Press. New York.

Luckhoff, H. A., 1949. The effects of live pruning on the growth of Pinus patula, P. caribaea and P. taeda. J. Sth. Afr. For. Assoc. No. 18.

Luckhoff, H. A., 1956. High pruning in Pinus patula, its feasibility. Effects on growth and P. taeda. J. Sth. Afr. For. Assoc. No. 27.

Martawijaya, A., I. Kosasih, dan A. P. Soewanda, 1981. Atlas Kayu Indonesia, Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Martawijaya, A., Kartasura, I., 1977. Publikasi Khusus no. 41 LPHH. Badan Penelitian dan Pengembangan. Bogor.

Mashudi, 2002. Casuarina equilatifolia L., Buletin Warta Konservasi.

Milington, W. F. and Chaney, W. R., 1973. Shedding of shoots and branches. In: Shedding of Plant Parts, T. T. Koz lowski (ed), pp. 149-204. New York and London, Academic Press.

Moller, C. M., 1960. The influence of pruning on the growth of conifers. Forestry 33, 37-53.

Novianto, D. S., 2000. Pengaruh Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk Cemara laut. Skripsi Instiper Yogyakarta. Tidak di Publikasikan.

Pramoedibyo, R. I. S., 2004. Dari Bukit-bukit Gundul sampai ke Wanagama I. Yayasan Sarana Wana Jaya. Yogyakarta.

Poerwokoesoemo, 1956. Jati Jawa. (Tectona grandis L. F.) Bogor.

Sabarnurdin, S., 1979. Phisiologi Pohon. Yayasan Pembina Fakultas Kehutaanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Samingan, T., 1982. Dendrologi. Diterbitkan atas Kerjasama Bagian Ekologi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dengan Penerbit PT.. Gramedia, Jakarta.

Sastrosupadi, A., 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Simon, H., 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Cetakan Pertama. Penerbit PT. Aditnya Media. Yogyakarta.

Smith, D. M., 1997. The Practice of Silviculter. New York, John Wiley and Sons. 578pp.

Shepherd, K. R., 1986. Plantation Silviculture. Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, The Netherlands.

Tini, N. dan K. Amri, 2002. Mengebun JatiUnggul. Cetakan Pertama. Penerbit Agro Media Pustaka, Jakarta.

Troup, R. S., 1966. Silvikultur Sistem. 2nd Ed. Edited by E. W., Jones, Londen, Oxford Univ. Press. 216pp.

Young, H. E. and Kramer, P. J., 1952. The effect of pruning on the height and diameter growth of loblolly pine, J. For. 50, 474-9.


[1] Dosen Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta

[2] Dosen Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta

[3] Koordinator Hutan Pendidikan Wanagama I UGM Yogyakarta

Read Full Post »

APLIKASI SILVIKULTUR DALAM REHABILITASI LAHAN KRITIS

0leh : Andi Rinto P. W., S.Hut.

I. Pengertian Lahan Kritis dan Silvikultur

Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (Djunaedi, 1997). Lahan kritis juga disebut sebagai lahan marginal yaitu lahan yang memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit tanaman yang mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud adalah faktor lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, seperti unsur hara, air, suhu, kelembaban dan sebagainya. Jika terdapat salah satu saja faktor pembatas pertumbuhan tanaman tersebut yang kurang tersedia, maka tumbuhan juga akan sulit untuk hidup (dalam keadaan tercekam).

Silvikultur adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni pembangunan dan pemeliharaan hutan dengan mendasarkan pada pengetahuan silvika sehingga komposisi, struktur, dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan.

II. Latar Belakang Masalah

Pengantar

Whitmore (1984) mengatakan bahwa : Hutan tropis Indonesia dikenal merupakan hutan yang paling kaya akan jenis dan ekosistem yang terkompleks di dunia. Indonesia yang luas wilayahnya hanya 1.3 %  dari luas permukaan bumi,  memiliki :

1.Flora berbunga yang banyaknya 10 % dari jenis flora berbunga dunia,

2.Mamalia mempunyai 12 % dari jenis mamalia dunia,

3.Burung 17 % dari burung yang ada di dunia,

4.Ikan mempunyai 25 % dari jenis ikan di dunia (Myers. 1988; McNeely et al, 1990; Ministry of  National Development Planning, 1997; Soekotjo dan Hani’in, 1999).

Laju kerusakan hutan yang disebabkan oleh berbagai faktor diprediksikan telah mencapai 1.6 juta hektar per tahunnya. Apabila hal ini dibiarkan maka menurut Witular (2000)  hutan alam  tropika di Sumatera akan habis pada tahun 2005, sedangkan di Kalimantan akan habis pada tahun 2010. Sementara menurut inventarisasi Depertemen kehutanan 2003, luas lahan kritis di Indonesia sekitar 43 juta hektar, dengan laju kerusakan hutan sekitar 3,5 juta hektar per tahun.

Kebutuhan bahan baku industri sekitar 58.87 juta m3/tahun, sedangkan pemenuhan kayu yang diproduksi dari hutan alam, hutan rakyat, HTI  dan PT Perhutani selama 5 tahun terakhir hanya sekitar 25 juta m3/tahun.  (Direktorat Produksi Hasil Hutan, 2000). Emil Salim (2005)  mengatakan bahwa kebutuhan kayu di Indonesia sekitar 60 – 70 juta m3 setahun, sementara kayu yang bisa ditebang secara lestari dari hutan kita (alam, HTI dan Hutan Rakyat) hanya sekitar 20 juta m3/tahun. Sementara ilegal logging terus berjalan. Jadi mau tidak mau kita harus menanam dan tidak menebangi hutan alam

Sumber-sumber kerusakan hutan :

  1. Alih fungsi dan penyerobotan kawasan hutan
  2. Bencana alam misalnya kebakaran, letusan  gunung berapi, angin dan  sebagainya
  3. Penebangan (legal) yang berlebihan dan penebangan ilegal
  4. Hama dan penyakit

Soekotjo dan Hani’in (1999)

Kriteria kerusakan hutan dapat mengacu pada akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan tersebut terhadap :

  1. Keanekaragaman hayati
  2. Produktivitas dan vitalitas hutan
  3. Margasatwa
  4. Aestetik dan lain sebagainya.

Masyarakat merusak hutan?

  1. Mereka menganggap bahwa hutan boleh dimanfaatkan sesuai dengan keinginannya
  2. Mereka belum mengetahui secara benar tentang fungsi dan manfaat hutan
  3. Mereka ada yang menginginkan untuk mendapatkan sesuatu manfaat dengan cepat tanpa mengindahkan aturan yang ada.
  4. Mereka melihat contoh yang dilakukan oleh petugas.
  5. Factor x yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain (berkaitan dengan pola hidup)

Permasalahan yang sering kita hadapi sekarang ini adalah  adanya berbagai kepentingan yang ingin memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan yang ada di Indonesia. Adanya Otonomi daerah, yang masing-masing daerah ingin memanfaatkan sumberdaya yang ada seoptimal mungkin. Disisi lain, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindarkan, akibat dampak pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mengindahkan aspek kelestariannya. Untuk itu, salah satu upaya dalam mengatasi masalah-masalah diatas adalah dengan cara antara lain dengan :

  1. Rehabilitasi lahan melalui berbagai cara, antara lain dengan : Reboisasi, penghijauan, penanaman kembali dengan tanaman perkebunan, tanaman pertanian, reklamasi lahan pada lahan bekas tambang, dll.
  2. Koordinasi dengan berbagai stackholder dalam merancang pemanfaatan sumberdaya alam, secara arief, tanpa meninggalkan aspek kelestarian
  3. Membuat skala prioritas dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.

Salah satu cara yang mungkin bisa dijadikan opsi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis terutama yang berbenturan dengan berbagai masalah khususnya masyarakat adalah antara lain dengan penerapan aplikasi silvikultur. Karena dengan penerapan aplikasi silvikultur akan bisa mewadai berbagai kepentingan yang berkait dengan rehabilitasi lahan kritis.

Lahan kritis diklasifikasikan menjadi dua yaitu :

  1. lahan ktitis di daratan, misalnya : lahan bekas tambang, lehan bekas illegal logging, dan lahan tandus dan gundul
  2. lahan kritis di kawasan perairan, misalnya : hamparan pasir dipantai dan degradasi kawasam hutan payau.

III. Tujuan Rehabilitasi Lahan kritis

Lahan kritis yang semakin luas akan mengancam kehidupan baik yang di darat maupun  perairan. Reklamasi dan rehabilitasi lahan kritis diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut secara optimal sebagaimana mestinya dan tentunya berguna bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Adapun tujuan dari pembangunan kembali lahan kritis adalah :

  1. Meningkatnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat
  2. Meningkatkan produktivitas
  3. Meningkatkan kualitas lingkungan menjadi lebih baik
  4. Menyediakan air dan udara yang bersih
  5. Terpeliharanya sumber daya genetik
  6. Panorama lingkungan yang indah, unik dan menarik

IV. Langkah-Langkah Rehabilitasi

Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh agar pekerjaan rehabilitasi dapat berhasil dengan baik. Langkah-langkah yang dimaksud adalah.

  1. Upaya memperbaiki kondisi mikroklimat  dan upaya agar kondisi tanah berbatu mulai memungkinkan ditumbuhi oleh flora berakar dangkal sambil berupaya untuk memperkaya hara nitrogen dan hara makro dan hara mikro  lainnya.
  2. Seperti pada langkah pertama, tetapi menggunakan jenis-jenis yang sistem perakarannya lebih dalam.
  3. Pemilihan jenis-jenis pohon yang persyaratan tumbuhnya sesuai dengan kondisi habitat yang bersangkutan
  4. Pemilihan jenis-jenis yang lebih produktif.

Pemilihan jenis-jenis yang lebih produktif  dan memiliki nilai komersiil sudah dapat dimulai  (Pemuliaan Pohon)

IV. Klasifikasi Lahan Kritis

A. Lahan Kritis di Daratan

  1. 1. Lahan bekas tambang

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah akan sumber daya tambang. Perkembangan pertambangan di Indonesia sangat tinggi, dari pertambangan batu bara, minyak bumi, emas, timah, perak dan lgam lainnya.

Untuk endapatkan bahan-bahan tambang ini melalui proses penggalian, pengerukan, pencucian, pemurnian dan lain sebagainya. Tahapan proses yang berlangsung untuk mendapatkan logam-logam dalam bentuk murni merupakan sumber dari pencemaran lingkungan. Pada proses pencucian dapat mengakibatkan dampak negatif yang besar, karena secara tidak langsung tanah dan air tercemar. Hal tersebut berdampak negatif pada tanaman yang ada yaitu kesulitan untuk hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat contohnya logam air raksa (Hg), Kadmium (Cd), Timah hitam (Pb), dan Khrom (Cr) biasanya memiliki efek meracuni bagi makhluk hidup.

Upaya untuk mengatasi pencemaran lingkungan pada lahan pertambangan salah satu meode yang digunakan adalah Phytoremediation. Pada metode ini, tanaman tertentu ditanam  pada lahan yang tercemar dan tanaman tersebut akan berinteraksi dengan organisme tanah yang ada sehngga dapat mentransformasi polutan. Selain itu, dapat memperbaiki tanah yang tercemar oleh bahan/ komponen logam berat bercun tersebut. Penggunaan tanaman yang kemampuan mengikat logam berat yang tinggi dapt menjadi strategi untuk mereklamasi lahan tercemar logam berat.

Daerah pertambangan pada umumnya dipersepsikan sebagai daerah dengan kondisi lahan yang kritis dan tercemar oleh limbah beracun. Sebagai contoh pada tailing penambangan emas, logam-logam berat yang beracun terdiri atas selenium, sulfur, chromium, cadmium, nikel, seng dan tembaga.

Pada lahan bekas tambang selain dijumpai limbah beracun, juga terdapat beberapa tumbuhan pionir yang telah beradaptasi dengan kondisi kritis dan tercemar. Tumbuhan pionir tersebut mempunyai potensi untuk phytoremediation.

  1. 2. Lahan bekas illegal logging

Berbagai problematika di sektor kehutanan memiliki dampak pada lingkunganya. Maraknya pembalakan liar menyebabkan kerusakan yang dinamis baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Dampak illegal logging terhadap lingkungan adalah terjadinya pemadatan tanah, berkurangnya kapasitas infiltrasi, meningkatnya aliran permukaan dan erosi dan terganggunya daur hidrologis pada kawasan tersebut. Secara ekologis, kerusakan sumber daya hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan telah menimbulkan erosi tanah yang dapat menimbulkan dampak negatif secara luas baik langsung maupun tidak langsung. Di tempat terjadinya erosi akan terjadi kehilangan tanah yang baik dan subur, kehilangan unsur hara dan penurunan produktivitas, berkurangnya lahan untuk menampung dan menyimpan air. Sedangkan di luar tempat kejadian erosi terdapat endapan lumpur yang memperkecil daya tampung air di dalam sungai, rusaknya lahan pertanian dan pemukiman, menurunnya kualitas air dan rusaknya ekosistem perairan. Secara biologis, kerusakan akibat illegal logging juga mengakibatkan terjadinya kemerosotan genetis dari jenis-jenis yang ditebang, terjadinya  kerusakan tegakan tinggal serta punahnya berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Dengan demikian, sangat diperlukan upaya reklamasi lahan bekas illegal logging tersebut dengan aplikasi silvikultur yang baik guna mengembalikan fungsi lahan kritis akibat pembalakan liar tersebut.

  1. 3. Lahan tandus dan gundul

Sumber daya alam indonesia amatlah besar, tetapi akibat keserakahan dan ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan kerusakan-kerusakan dimana-nama. Sering kita mendengar istilah lahan tandus, gersang dan gundul. Sepertinya sebutan tersebut mengisyaratkan bahwa kita kekurangan pangan. Lahan tandus dan gersang adalah keadaaan suatu areal yang tidak dapat ditanami lagi atau tidak produktif. Lahan seperti ini diakibatkan dari eksploitasi tanaman yang tak terkendali sehingga mengakibatkan hilangnya top soil atau tanah atas akibat erosi yang besar.

Upaya untuk menangulangi kerusakan ini adalah dengan cara rehabilitasi lahan yaitu penghijauan kembali. Salah satu teknik penghijauan kembali dengan penerapan silvikultur intensif.

Pertama kita harus mengembalikan tanah yang hilang tersebut. Dengan cara yang paling utaman mengidentifikasi jenis tanaman yang masih ada di areal tersebut dan memperbanyak. Mencari tanaman pioner, kemudian menggunakan jenis tanaman legum/ polongan seperti kemlandingan/ lamtoro, gamal, serta jenis-jenis lain. Kita memilih tanaman jenis legum dikarenakan biji banyak dan penyebaranya jauh serta mudah berkecambah. Dengan daun yang majemuk dan tipis mudah terdekomposisi, serta akan membentuk iklim mikro dibawah tegakan yang merupakan tempat hidup mikro organisme pengurai. Dan kelamaan akan terjadi suksesi, sehingga pada saatnya nanti kita akan bisa menanam lahan tersebut dengan tanaman keras lagi, bahkan kita dapat menerapkan konsep agroforestry pada lahan tersebut.

B. Lahan Kritis di Kawasan Perairan

  1. 1. Hamparan pasir di Pantai

Derah pesisir pantai pada umumnya berupa  hamparan pasir yang luas. Kawasan ini merupakan lahan marginal yang memiliki  pasir dinamis, tidak memiliki agregat, kandungan bahan organik rendah, mudah mengalami kekeringan dan mempunyai kadar garam yang tinggi. Selain itu, jenis tanah pasiran (regosol) dengan tekstur tanah geluh pasiran, kemampuan menyerap air sangat tinggi. Karakteristik tersebut yang menjadi faktor pembatas pada usaha penanaman di kawasan pesisir pantai. Jenis tumbuhan  yang mampu tumbuh sedikit. Biasanya terdapat tumbuhan bawah yang mampu tumbuh secara alami seperti rumput gulung dan perdu seperti widuri. Untuk tanaman kayu keras yang memiliki fungsi lebih kompleks telah dicoba dan berhasil oleh Prof. Suhardi yaitu spesies cemara udang (Casuarina equisetifolia). Pemilihan spesies cemara udang karena merupakan satu-satunya tanaman pionir yang mampu tumbuh pada daerah dekat pantai. Cemara udang sendiri mampu hidup pada daerah miskin hara karena mampu bersimbiosis dengan frankia yang dapat membantu akar tanaman mengikat nitrogen dari udara dan endomikorisa yang dapat membantu akar menyerap unsur P dari tanah (Suhardi, 2002).

Fungsi penanaman kayu keras pada lahan pesisir pantai adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai wind break (pemecah angin).
  2. Penghalang tsunami.
  3. Pencegah abrasi pantai.
  4. Sebagai pembentuk komunitas awal yang mampu mengahadirkan komunitas baru (fasilitasi) sehingga menjadi bentuk pemanfaatan terpadu (sebagai contoh : di pantai samas terdapat pemanfaatan lahan agroforestry berbasis cemara udang ).
  5. Pelindung tanaman lain.
  6. Mengurangi erosi angin (reduce wind erosion).
  7. Keindahan.

Rehabilitasi kawasan pesisir pantai sangat diperlukan mengingat banyaknya fungsi yang dapat diperoleh. Rehabilitasi pada pesisir pantai ini dapat berupa formasi hutan pantai.

  1. 2. Degradasi kawasan hutan Payau

Hutan payau termasuk salah satu formasi hutan yang tumbuh di daerah pantai selain formasi hutan pantai. Terbentuknya hutan payau di daerah pantai apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Tidak adanya ombak yang besar, sehingga lumpur masih mampu bertahan diri tidak terbawa oleh gelombang air laut.
  2. Lahan yang berlumpur  dan sedikit pasir.
  3. Adanya sungai-sungai yang bermuara ke daerah pantai itu yang memungkinkan membawa lumpur dari daratan karena erosi.
  4. Daerah pantai yang masih terpengaruh oleh pasang surut air laut, dengan demikian air yang mempengaruhi pantai adalah air asin, bukan air tawar.

Jenis tanah penyusun hutan payau adalah Aluvial (ordo entisol), merupakan jeis tanah baru. Tanah ini berasal dari bahan induk tanah yang berada pada dataran yang lebih tinggi kemudian mengalami erosi baik secara alami maupun erosi dipercepat oleh air hujan dan terbawa oleh aliran sungai.

Fungsi hutan payau yang tidak dimiliki oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan darat dan laut. Hutan payau menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi nekton. Nekton ini menjadi sumber makanan bagi biota pemakan daging baik di darat maupun di laut. Funsi lain dari hutan payau dapat dikegorikan sebagai berikut:

  1. Fungsi Fisik

–          Mencegah abrasi dan intrusi air laut ke darat

–          Menambah substrat untuk pertumbuhannya sehingga tanah menjadi stabil.

  1. Fungsi biologis

–          Tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi biota laut.

  1. Fungsi ekonomis

–          Kayu dari hutan mangrove dapat dijadikan bahan pulp, arang, perkakas dan lain sebagainya.

–          Dapat digunakan pola tumpang sari dengan empang parit ikan (Silvofishery).

Mengingat banyaknya fungsi dari hutan payau tersebut maka diperlukan pembangunan kembali hutan payau yang sekarang makin terdegradasi.

Kuliah.3

Read Full Post »

Older Posts »